Wednesday, June 25, 2008

Mereka vis a vis "Mereka-mereka"

Penat…

Fisik, hati, maupun jiwa ini

Seolah-olah…

Kedamaian sudah tidak ada lagi

di sini,

di Indonesia

Rasanya…

Hanya mereka yang masih polos

Yang masih merasakan bahwa

masa di bumi itu lama

Yang merindukan bulan ramadhan

dan hari raya itu lama sekali

Atau…

Mandi hujan itu sangat menyenangkan

”Tidak dingin tu”, kata mereka

Mereka…

Masih menikmati keindahan suasana desa

Kesejukan udara pagi, bahkan sorepun juga

Kebeningan embun yang bertengger di gemulainya sang rumput

Merdunya kicau burung-burung yang terbang bebas di atas kepala mereka

Setidaknya lewat buku-buku paket lusuh

Yang mereka pinjam di perpustakaan berdebu sekolah mereka

Mereka…

Masih sedang belajar dan mencoba mempraktekkan

Sikap-sikap terpuji yang diajarkan kepada mereka

Lewat mata pelajaran PPKn atau apalah namanya sekarang…

Tenggang rasa, hormat-menghormati, kejujuran,

nasionalisme, patriotisme, dan tolong-menolong

Beberapa contoh bahasannya…

Korupsi, pemanasan global, perampokan,

demo, anarkisme, geng motor…

Mereka pernah mendengar istilah-istilah itu

Bahkan mungkin sering…

Tapi, mereka tidak tahu apa artinya…

Mereka hanya tahu…

Setiap hari Senin harus melaksanakan upacara bendera

Mendengarkan teks Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila dibacakan oleh guru mereka

Juga menyanyikan lagu wajib nasional…

Mereka tidak tahu…

Jikalau “mereka-mereka” yang lain

Yang sangat jauh lebih mengerti dan fasih

tentang istilah-istilah yang mereka anggap kata-kata sulit itu,

yang terletak berserakan dalam gumpalan otak mereka yang baru berumur 8-11 tahun itu,

Justru melakukan perilaku –perilaku itu…

Mereka tidak tahu…

Jangankan gemulai rumput, bahkan pohon sekeras bajapun

sudah tumbang oleh “mereka-mereka”

Telah, sedang, dan akan tumbang…

Mereka tidak tahu…

Jangankan harga buku-buku paket lusuh yang mereka anggap mahal,

jumlah rupiah senilai seratus buah perusahaan penerbit bukupun,

bagi sebagian “mereka-mereka” yang melakukan korupsi, nilainya masih kecil

Dan mereka tidak tahu…

Jangankan burung-burung yang terbang di atas kepala mereka,

Burung-burung liar yang bersembunyi di dalam gua

dan atau berdiri gagah di atas puncak tertinggi di nusantarapun,

kena sasaran kerakusan “mereka-mereka” yang lain itu.

“Dor kena!!” atau “Masuklah kau ke dalam perangkap”, “mereka-mereka” berceloteh

Berceloteh kataku??

Mereka berhadapan dengan “mereka-mereka”

Bukan dalam debat di atas panggung megah yang memperadukan kemampuan otak

Atau di atas ring tinju bebas yang memperadukan kekuatan otot

Atau…di padang pasir tandus yang menuntut ketahanan fisik dalam bertahan tanpa makan dan minum…

Tapi…

Mereka akan diadu oleh alam di atas mayapada ini dalam satuan waktu

Mereka vis a vis “mereka-mereka”

Tentulah yang menang “mereka-mereka”

Tuesday, June 3, 2008

Hutan/rimba di Indonesia semakin menipis, tapi kok hukumnya makin subur???

Di bawah ini hanyalah tulisan ketidakpahaman saya...

Undangan itu. Ya, undangan terbuka untuk menghadiri apel akbar pada tanggal 1 Juni 2008 pukul 13.00-16.00 WIB di lap Monas Jakarta. Tertera di sudut kiri pada halaman harian ternama tertanggal 30 Mei 2008. Diselenggarakan oleh Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Apel ini sepertinya untuk memperingati hari kelahiran Pancasila, setiap tanggal 1 Juni di negeri ini.

Di sudut halaman ini pula mereka menyerukan kepada pemerintah, wakil rakyat, dan pemegang otoritas untuk tidak takut kepada tekanan yang membahayakan ke-Indonesia-an. Tekanan yang bagaimanakah yang mereka maksud? Adalah kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah-lah yang mereka maksud, mungkin hanya salah satu contoh yang disebutkan. Bahwa Indonesia menjamin tiap warga bebas beragama. Inilah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Ini juga inti dari asas Bhineka Tunggal Ika, yang menjadi sendi ke-Indonesiaan kita”. Itulah tiga kalimat awal dari keseluruhan paragraf pertama yang bernada seruan mereka.

“Marilah kita jaga republik kita. Marilah kita pertahankan hak-hak asasi kita. Marilah kita kembalikan persatuan kita”. Tiga kalimat yang dirangkai dalam paragraf selanjutnya, diketik dengan gaya centre dalam kolom. Wah, sungguh bernada patriotis, nasionalis, dan menggugah jiwa.

Ingin rasanya hadir disana. Namun ada dua alasan yang menghalanginya. Pertama, memang secara geografis sangat jauh, dan kedua, alasan yang bersifat radikal dan fundamental, yaitu apakah tidak bertentangan dengan agama yang saya anut?

Setelah melanjutkan membaca, terlihat daftar nama-nama, tidak tahu apakah memang anggota dari aliansi ini (jika memang aliansi akan aktif nantinya) atau hanya yang para pendukung acara apel tersebut. Amien Rais, Azyumardi Azra, 12 Kyai Haji (KH) (termasuk KH. Abdurrahman Wahid dan KH. Mustofa Bisri), dan tokoh-tokoh nasional jempolan yang berjumlah lebih kurang 300 orang. Tokoh-tokoh tersebut ialah tokoh agama, tokoh politik, tokoh seni, dan lain-lain.

Setidaknya kebimbangan saya terjawab dengan nama-nama seperti Amien Rais, Azyumardi Azra, KH. Abdurrahman Wahid dan KH. Mustofa Bisri. Sepertinya Islam tidak melarang aksi ini, toh mereka juga tertera namanya, yang artinya setuju. Untuk tokoh-tokoh tersebut publik tidak perlu meragukan lagi akan ilmu keislamannya. Track record dan educational background setidaknya bisa menjadi bukti. Tetap saja saya tidak bisa menghadirinya untuk alasan yang pertama.


***


Alangkah terkejutnya saya ketika menyaksikan televisi bahwa apel tersebut diserang oleh ormas yang mengatasnamakan Islam. Tidak kalah dengan aksi mahasiswa versus polisi, disini juga terjadi hal itu, akan tetapi sepertinya hanya terjadi serangan satu pihak. Bahwa ormas Islam itu bersikap offensive dan simpatisan/peserta yang menghadiri acara apel bersifat defensive, lebih tepatnya hanya keep in dodging (mencoba mengelak). Hati saya berkata, apa jadinya diri saya jika berada disana? Apakah termasuk dari setidaknya 12 korban yang menderita luka? Atau juga mengalami geger otak ringan yang diakibatkan oleh tongkat yang kata mereka bermerek Islam? Apakah kalimat suci Allahu Akbar sudah mengalami perluasan makna?

Kecaman pun berdatangan. Tiga diantaranya berasal dari tokoh-tokoh yang memang menghadiri acara tersebut. Goenawan Mohammad (wartawan senior), Din Syamsudin (ketum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan KH. Abdurrahman Wahid (ketua dewan syuro PKB). Lagi-lagi hati saya bertanya, Islam yang manakah yang benar? Apakah Islam yang menyerang atau yang diserang?

Saya akui tingkat pemahaman akan agama saya sangat rendah. Teringat akan sebuah buku yang ditulis oleh Dr. Alwi Shihab (adik kandung Quraish Shihab) yang berjudul “Islam Inklusif”, yang diterbitkan oleh Mizan. Pada buku tersebut tertera coretan berupa sebuah tanda tangan ibu saya dan tertanggal 7 Maret 2003. Buku lama memang, tetapi pembahasan di dalamnya masih relevan untuk situasi-situasi sekarang sampai nantiya. Di dalamnya dibahas mengenai Islam terhadap kasus-kasus kritis, diantaranya : sikap Islam terhadap pluralisme agama, saling hormat antar agama, dialog agama, dll. Saya mencoba memilah-milah judul manakah gerangan yang relevan dengan kasus di atas. Akhirnya saya menemukan sebuah pembahasan yang berjudul “Radikalisme Dalam Islam”. Ya, sepertinya relevan?

Tulisan ini sebenarnya tanggapan beliau terhadap usaha pembunuhan atas Presiden Mesir Husni Mubarak di Addis Ababa 26 Juni 1995. Beberapa catatan penting saya dapatkan dari tulisan yang bersandarkan islam secara kuat ini diantaranya:

  • “Walaupun tradisi penggunaan kekerasan dalam bentuk perang merupakan sarana ampuh untuk membangun suatu bangsa dalam sejarah peradaban manusia, namun sejarah membuktikan pula bahwa tidak satupun agama yang melegitimasi apalagi menganjurkan kekerasan. Sebagaimana halnya agama Kristen, Islam juga tampil sebagai gerakan reformasi, bukan agama ekspansionis.”
  • “Umar bin Abdul Aziz mengucapkan kata-katanya yang tak terlupakan: “Tuhan mengutus Muhammad untuk memberi petunjuk, sama sekali bukan untuk mengumpulkan Jizyah (pajak) melalui ekspansi teritorial.”
  • “Menengok kembali sejarah Islam, teristimewa pada masa awal misi Nabi Muhammad, kita menjumpai betapa Allah senantiasa memerintahkan Nabi-Nya untuk bersabar dan menahan derita dalam menghadapi masyarakat Arab. Karena Nabi Muhammad pada dasarnya adalah pembawa peringatan dan bukan pembangunan kerajaan melalui kekerasan.”
  • “Adalah tidak benar asumsi yang menyatakan bahwa jihad identik dengan aksi mengangkat senjata. Jihad dalam pengertian etimologis adalah usaha sungguh-sungguh yang tak mengenal lelah.”
  • “Dalam peristilahan Al-Quran, jihad dibagi atas dua kategori. Pertama adalah jihad fi sabilillah, dan kedua jihad fillah. Yang pertama dimaksud kan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam menempuh jalan Allah, termasuk di dalamnya pengorbanan harta dan nyawa. Pengorbanan para pahlawan bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan adalah salah satu bentuk jihad fi sabilillah. Adapun kategori kedua jihad fillah atau usaha sungguh-sungguh (menghampiri Allah) adalah usaha untuk memperdalam aspek spiritual sehingga terjalin hubungan erat antara seseorang dengan Allah. Usaha sungguh-sungguh ini diekspresikan melalui penundukkan tendensi negative yang bersarang di jiwa tiap manusia, dan penyucian jiwa sebagai titik orientasi seluruh kegiatan. Kategori kedua ini sesuai dengan hadis Nabi yang populer adalah jihad dalam arti yang sebenarnya dan yang utama.”
  • ““Kami lebih mengutamakan untuk memberi peringatan kepada penguasa ketimbang mengangkat senjata” Itulah kata yang ditegaskan tokoh panutan kaum Muslim, Abul-Hasan Al-Asy’ari, yang wafat pada 324 H.”

The decision is on your hand. Apakah Anda setuju tulisan beliau relevan dengan kasus tersebut, ataupun tidak. Namun, terlepas dari relevansi atau tidaknya, para pelaku harus ditindak tegas. Law enforcement sebuah harga mati!. Karena salah satu poin penting dan sebuah prakondisi yang sangat vital untuk kemajuan negara dan bangsa dimana hukum harus ditegakkan saya kira.

Lebih menarik perhatian saya ketika ada pemberitaan bahwa ormas Islam lainnya, dalam hal ini GP Anshor dan Banser akan men-sweeping FPI jika Polri tidak bertindak tegas terhadap perbuatan FPI itu. Saya yakin bahwa penganut di luar Islam akan kebingungan dan bertanya-tanya. Ada apa sih dengan Islam? Islam manakah yang benar? Apakah Islam memang agama yang bertipikal kekerasan? Tapi percayalah kawan dan saudara setanah air, bahwa Islam bukanlah agama kekerasan. Jangan salahkan agamanya, tanyalah kepada pelakunya? Saya kira tindakan imperative, imperialis, dan kolonialis George Bush bukan berarti seluruh warga AS juga bersifat begitu. Yang lebih kita perhatikan ialah bahwa hanya terjadi kekeliruan yang besar dalam pemahaman beragama. Sekali lagi saya katakan, saya bukan ahli/berwawasan agama yang luas. Saya hanya merunut kata-kata dari ulama-ulama favorit saya., Din Syamsudin salah satu contohnya.

Islam agama kedamaian. Agama yang menjunjung tinggi wanita, bukan merekomendasikan untuk menciderai kepala mereka (wanita) sampai geger otak ringan. Islam tidak mengajurkan untuk bermain-main bom terhadap nyawa-nyawa manusia. Islam jauh dari semua itu.

***

Sepertinya aneh, ketika hutan-hutan (rimba) di Indonesia sudah semakin menipis oleh keserakahan dan kebodohan, tetapi hukum rimbanya semakin subur menjamur…