Tuesday, May 19, 2009

INSULTING GUEST


9 Mei 2009, Malam Minggu, lima belas menit menuju jam sepuluh…

“Picky!!”

Sebuah suara samar terdengar olehku.

Aku masih asyik dengan jari memetik senar gitar nilon yang berumur tidak kurang dari tiga tahun. Pada waktu yang sama mulutku mencoba menyesuaikan ritme musik yang dihasilkan oleh senar-senar tersebut yang bergetar. Terbius oleh komposisi musik MyFacebook-nya GIGI. Sebuah single yang membuatku jatuh cinta pada pendengaran pertama dengan dirinya. Kini aku memainkannya di kos sendiri. Saudara sekos sedang keluar semua. Menyedihkan aku sendiri seperti orang bodoh di kos malam Minggu. Sendiri!!

“Berawal dari facebook baruku
Kau datang dengan cara tiba-tiba
Bekas kekasih lama yang hilang
Satu dari kekasih yang terbaik”



“Picky!!”

Lagi terdengar suara itu dibalik daun pintu, di sebelah luar kamarku.

Memori otakku bekerja.

Jenis atau bentuk suara manusia yang kudengar saat ini memanggilku dengan “Picky” tidak kutemukan di dalam penyimpanan memoriku. Aku belum pernah sebelumnya dipanggil dengan panggilan Picky oleh suara ini. Aku yakin aku tidak salah dengar. Dia memanggilku “Picky” dan aku tidak mengenal suaranya.

“Oh Bapak” aku membuka pintu dengan tangan kiri masih menenteng gitar. Biasanya dia memanggilku dengan kata “Nak” sebelum namaku.

“Anu, bisa bukakan kartu saya nggak??”

“Oh sebentar Pak!!” Aku meletakkan gitar. Menyenderkannya dibelakang pintu.
Sementara Bapak ini mencoba masuk ke kamarku.

“Tunggu sebentar Pak!!” Bahasa verbal yang tersirat di dalamnya bahwa aku tidak mengizinkan dia untuk masuk.

Sebuah handphone nokia seri yang kulupa, dengan baterai yang telah terlepas, disodorkan kepadaku. Baterai digenggam oleh tangan yang lain oleh sang pemiliknya.

“Oh iya Pak”

Aku menerimanya. Meraba dan mencoba membukanya. Aku menarik salah satu sisi tempat dimana kartu Simpati sedang bersemayam, tidak berhasil. Cara yang salah. Aku menggesernya. Tidak bergerak. Cara yang salah juga. Berpikir cara yang lain. Tunggu!! Tidak ada cara lain yang kutahu. Dua cara ini yang biasanya dilakukan untuk melepaskan kartu dari handphone Nokia.

Aku berpikir mungkin ini sengaja dilem atau cara lain agar tidak bisa terlepas. Entah apa tujuan tamu ini mau melepas kartunya malam ini.

“Ini Pak ya, ada tanda arah panah, kemana seharusnya penutupnya di geser. Tapi tidak bisa, saya tidak tahu juga”

“Oh ya sudah”

Tamu tersebut langsung bergegas pulang ketika handphonenya ku kembalikan. Mungkin dia marah, bisa karena aku tidak bisa berhasil menolongnya, atau karena tidak
kupersilahkan untuk masuk. Aku tidak menyesal.

***


17 bulan sebelumnya malam ini.

“Eh Bintang”

Aku menyapanya. Aku menguasai diriku.

Aku tidak berpikir negatif atas kepindahan kosnya yang secara mendadak bersamaan dengan kehilangan salah satu barang terberhargaku waktu itu. Kepindahannya tidak kuketahui, tidak ada sama sekali kulihat dia mengangkat barang-barangnya 17 bulan yang lalu. Meski hanya dalam satu hari barang itu telah terangkat dan terpindahkan semua. Mungkin sewaktu aku berada di kampus.

Dua minggu kemudian setelah kepindahannya, aku baru mengetahui, ternyata dia sudah pindah kos. Saat ini dia bertamu kembali ke kos, ke kamar saudara sekos sebelah kamarku.

“Picky. Bagaimana kabar Ki??”

“Baik Tang. Kamu kabar gimana?? Aku gak tau kamu pindah kos”

“Baik Ki. Iya aku pindah kos. Tau kan kenapa aku pindah kos??”

“Nggak tau” Aku tersenyum, berlagak tidak tahu, dan memang aku tidak tahu.

“Bapak sebelah kan waktu itu minta bantuanku. Katanya handphone dia error. Dia minta aku ke rumahnya. Aku pun ke situ. Sampai di situ handphone dia nggak apa-apa, baik-baik aja. Tapi aku justru diajak nonton film gituan sama beliau. Parahnya itu sejenis. Laki-laki versus laki-laki.”

Dia menceritakan dengan wajah yang tak enak, begitupun aku yang mendengarnya.

“Waduh. Terus gimana??” Aku curious.

“Ya aku nonton aja. Nggak enak juga. Sebenarnya aku pengen pergi aja. Eh lama kelamaan lagi dia malah colak-colek ibu jari kakiku. Bilang kalimat-kalimat yang nggak seharusnya dibilang. Mau mengajak aku untuk melakukan seperti yang sedang kami tonton”

Aku diam mendengar cerita itu. Aku seperti kalah telak 13-0. Kok bisa ya aku kecolongan selama ini? Tidak kusangka bapak itu begitu. Shit!!

“Aku nggak enak aja, pas kamu kehilangan aku pindah kos. Mungkin kamu berpikiran aku yang melakukannya.”

“Oh nggak kok Tang. Trus kamu melayani dia??” Aku mencandai dia.

“Ya enggak lah, gila aja”

Aku memungut kembali gitarku. Jemariku meliuk-liuk tak jelas di fret gitar mengelurkan nada-nada tak berskala. Skala mayor atau minorpun juga tidak. Jika sebelumnya aku antusias menyanyikan MyFacebook, berteriak-teriak di hampir tengah malam Minggu, kini aku speechless.

Terdiam.

Sosok diriku yang lain seolah keluar dari jasad dan menyaksikan aku yang sedang main gitar duduk di atas kursi kayu. Aku melihat diriku. Dia berhasil bersikap biasa-biasa saja puluhan detik lalu. Berpura tidak tahu akal bulus tamu yang tak diinginkan. Telah bijaksana mengusir secara tersirat. Aku masih terdiam. Aku merasa dilecehkan, dilecehkan seorang dengan jenis kelamin yang sama denganku. Aneh.

Keparat!!