Showing posts with label Survival. Show all posts
Showing posts with label Survival. Show all posts

Wednesday, July 14, 2010

Berbagi-lah (Serahkan-lah)


 



 

"Sebenarnya, kata 'berbagi-lah' itu tidak tepat, namun' serahkan-lah' yang tepat. Karena di tiap-tiap yang kita miliki, ada sebagian yang merupakan milik mereka. Ingat lah untuk menyerahkan nya…"


 

Minggu malam, pukul delapan lebih dua puluh menit, seperti biasa aku dan beberapa saudara satu kos makan bersama, di warung makan sekitar kos. Namun, kali ini berbeda, kami berkeinginan untuk pergi ke warung makan di tempat yang agak jauh.

Aku mengendarai motor sendiri, sementara mereka berboncengan berdua. Aku menyalakan motor duluan, dan memulai mengendara dengan santai, menuju pintu gerbang gang. Sesampai di pintu dan berbelok kiri, masih dengan pengendaraan motor yang santai. Mata ku menoleh ke kiri, ke salah satu bangunan dan menemukan pemandangan yang tidak biasa. Jikalau biasanya hanya seorang bapak parkiran yang telah berumur mungkin lebih dar 50 tahun-an, saat ini ku lihat seorang ayah yang berumuran mungkin sekitar 35 tahun dan anak perempuan berjilbab dalam dekapan nya yang sedang pulas memejamkan mata, entah karena sakit atau tertidur. Ayah yang berkumis tebal tersebut terlihat seperti seorang yang tidak bersahabat, namun bagaimana sikap tubuh nya yang saat ini sedang memeluk erat sang anak dengan sepenuh-penuh nya kasih sayang dan melindungi, menggagalkan persepsi ku tersebut. Mereka di depan sebuah bangunan yang telah tutup.

Motor terus ku jalankan sambil berpikir…

'Sungguh kasihan sekali mereka, dengan pakaian yang aku bersyukur aku masih memakai yang lebih baik. Terbesit hati ku untuk melakukan nya, namun bagaimana jika beliau menolak bahkan marah? Mungkin beliau bukan tipe yang seperti itu? Tapi penampilan mereka sangat menyentuh dan mengundang hati untuk melakukan nya.'

Aku berhenti, yang membingungkan Muksin dan Jali yang juga ikut berhenti.

"Kenapa Ki, gak jadi?" mereka bertanya kepada ku.

"Emh, duluan aja, aku nyusul nanti."

"Oke."


 

Aku berbalik arah, dan memberhentikan motor di tepi jalan, mungkin sekitar 2,5 meter di depan mereka. Aku mengeluarkan selembar rupiah berwarna hijau.

"Sakit ya Pak anak nya?"

"Beubou…"

Aku menangkap kata 'bobo'.

"Beubou…" beliau mengucapkan nya kembali.

"Oh tidur ya Pak. Ini ya Pak ya…"

Beliau sesegera mungkin 'menyambar' tanganku untuk mengambil yang ingin kuberikan kepada beliau dan mengucapkan kata 'maturnuwun' berkali-kali. Suara beliau tidak jelas, seperti memiliki kekurangan dalam hal berbicara. Aku tidak tahu bawaan lahir yang bagaimana ini. Namun, beliau berucap dengan susah payah sekali, sementara sang anak tertidur pulas dengan balutan sarung batik kuning yang telah lusuh dan menggunakan jilbab berwarna merah muda yang menggradasi menjadi putih kusam.

"Mari Pak ya…"

Aku menyadari gerakan tubuh ku mengurangi rasa ku kepada diri sendiri.

Aku melanjutkan perjalanan ku menuju warung makan yang saudara-saudara ku telah lebih dulu pergi. Sungguh hati ku sangat tersentuh dan dengan banyak pertanyaan di kepala. 'Kemana istri beliau?' 'Beliau dari mana dan mau kemana?' 'Apakah sudah makan?' 'Apakah tidak memiliki uang untuk transportasi?' 'Apakah beliau selalu bersedih dalam hidup nya dengan kondisi seperti itu, atau bahkan tidak pernah dikarenakan kebesaran jiwa beliau dan keberserahan kepada Sang Pencipta?' 'Dimana rumah beliau?' 'Apakah beliau berhenti dan duduk di situ hanya karena sang putri yang tertidur, untuk tidak mengganggu tidur nya?' 'Apakah beliau sudah makan?' 'Apakah beliau sudah makan?' 'Apakah beliau sudah makan?'

Sungguh mengharukan. Aku mengharapkan untuk airmata ku jatuh saat ini. Ini sama sekali bukan tentang kecengengan, bukan! Aku ingin merayakan kebesaran Engkau ya Tuhan dan kebesaran mereka. Aku merasakan ada begitu banyak malaikat yang hadir di situ. Tatapan sayang dan haru dari nabi-nabi di surga sana. Orkestra dan simfoni alam yang mengalahkan bisingnya hiruk pikuk motor dan mobil yang melintas. Tuhan, sungguh besar saat ini. Sungguh hebat kehidupan ini. Aku ingin menangis Tuhan. Aku merasa kasihan yang teramat dengan mereka.

Di satu ruang di kepala ku terucap serapah-serapah yang menyampahkan.

'Seharusnya malu pemimpin yang tidak amanah itu dengan contoh keadaan ini yang begitu banyak jumlah nya di negeri ini.' 'Seharusnya para koruptor tersentuh dan tersadar betapa biadab nya mereka dengan melakukan korupsi!' 'Engkau negara, kenapa begitu lemah? Apakah karena sudah terlalu banyak anak-anak mu yang tidak amanah dan melakukan korupsi sehingga hanya berdiam, meringis, dan menangis? Aku ingin mengatakan engkau, aku, dan semua orang yang ada dan dilahirkan di negeri ini seharusnya malu dengan keadaan ini. Ini bukan miskin nya harta kita, namun miskin nya perilaku kita!'

Aku malu dengan diri ku.

Aku merasa kurang sementara juga merasa sangat lebih.

Aku mengakui, ketika kebaikan dilakukan dengan ketulusan itu, tak pernah ada kata cukup, bahkan memuaskan.

"Tuhan perbanyaklah pemimpin yang amanah. Berikanlah kewenangan-kewenangan dan kemampuan-kemampuan besar kepada pemimpin-pemimpin masa depan untuk bisa menjamin dan memastikan pemuliaan dan pengasih-sayangan kepada hamba-hamba Mu yang seharusnya berhak itu ya Tuhan…"

Tuesday, June 29, 2010

Kenapa Sulit Untuk Hatimu Bersyukur?




"Kehidupan ialah,
 apa yang seharusnya yang penting..."


Tuhan yang Maha Sempurna, begitu indah nama-Mu, bahkan ketika menyebutkannya saja, diri ini merasa malu, teringat akan begitu banyak pemberian-Mu, bukan hanya tidak mampu hamba hitung, namun sangat jauh dari kata sadar akannya, apalagi mensyukuri...

Tuhan, Engkau yang Maha Bijaksana, yang mengetahui apa-apa yang terbaik bagi hamba-Mu, yang walaupun untuk apa-apa yang menurut kami tidak cocok, Engkau-lah yang lebih tahu. Begitu sabarnya Engkau akan keluh kesah dan amarah hamba-Mu yang tak tahu diri, untuk berterima kasih kepada-Mu ya Tuhan...

Tuhan, dengan nama-Mu yang Maha Besar nan Maha Pemaaf itu, Engkau membiarkan kami menjauh dari-Mu, melalaikan tatapan kasih-Mu, namun tak ada kau murka. Tak ada kau seketika itu juga menghukum kami ya Tuhan.

Tuhan, dengan menyebut sifat-Mu yang Maha Pemberi itu, yang tak henti-hentinya memberi, meski kami selalu saja lupa untuk berterima kasih. Engkau tak pernah marah bahwa doa-doa kami hanya bersifat meminta, yang sebenarnya seharusnya kami untuk selalu berterima kasih. Kami selalu merasa kurang. Kami tidak melihat bagi hamba-hamba-Mu yang lain, yang jauh kurang seberuntung kami, namun begitu lebih dalam pengterimakasihannya kepada-Mu. Tuhan diri ini malu. Peliharalah malu yang indah ini. Malu yang mengingatkan untuk tidak merasa kurang. Malu yang mengingatkan untuk bermental keberlimpahan dalam kehidupan.

Tuhan, dengan menyebut nama-Mu yang Maha Perkasa itu, yang kami dalam perasaan rindu dan ingin dekat dengan orang tua dan adik-adik kami, perkenankan kami  memohon, "sayangi mereka yang Tuhan, muliakan mereka ya Suci, lindungi mereka ya Penyayang, bahagiakan mereka ya Maha Perencana, pelihara mereka ya Pemilik Kekuatan, dan berikan rizki yang baik ya Pemilik Kehidupan..."

Tuhan, Engkau pemilik semesta, yang kami tidak ada apa-apanya, sekecil-kecilnya bentuk, namun Engkau sematkan status sebagai sebaik-sebaiknya makhluk, yang doa-doa kami Engkau dengarkan dan kabulkan, yang hanya sebesar dan secepat kesungguhan, ketulusan, dan keberpasrahan kami dalam menyegerakan perbuatan untuknya.

Tuhan, Engkau indah, titip salam untuk orang tua dan adik-adik kami yang lucu-lucu itu...

Ya Allah, Engkau lah Tuhan itu...


(Inspired by starving and poor old lady in Pamekasan...Ketika kami memiliki kelebihan, bahkan untuk makan hanya nasi saja beliau harus menahan dan menangis akan nya, dalam ketidakmampuan beliau...)

Tuhan, nikmatmu mana lagi kah yang kami dustakan...?

Monday, April 13, 2009

Impian Dari Tepi Laut


Keindahan-keindahan yang belum datang itu seakan sirna. Seolah tidak akan pernah datang. Seolah semua telah jelas terlihat di depan sana. Apa yang akan terjadi dan keadaan seperti apa yang akan terjadi. Sepertinya akan menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja.

Banyak orang mengatakan bahwa hidup itu ialah sebuah misteri. Tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi kemudian. Apa dan bagaimana itu akan terjadi, biarlah itu terjadi nantinya, dan dengan sendirinya. Dia akan memberikan sesuatu yang tidak akan pernah kau duga. Sesuatu yang sebelumnya belum kau rasa. Sesuatu yang akan membuatmu menjatuhkan air mata yang hanya sedikit itu. Entah apakah karena engkau bahagia atau memang kau terluka. Bukankah itu sebuah keindahan hidup?

Mungkin itu alasan kenapa Tuhan tidak mengizinkan sang khalifah untuk tidak meramal, memprediksi, dan meyakini sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Karena dengan itu dirimu tidak akan pernah berbahagia, was-was, takut, dan penuh pikiran atas ketakutan-ketakutan yang engkau ciptakan. Artinya, Tuhan menginginkan sang khalifah bertingkah laku yang terbaik saat-saat ini, untuk saat ini dan untuk masa depan. Biarkan Dia yang akan menguji kita dengan berbagai skenario yang Dia yakini terbaik untuk kita.

Mungkin kita boleh melakukan analisis skenario untuk menghadapi masa depan yang misterius itu. Memperhitungkan segala sesuatu yang akan terjadi pada rentang ekstrem. Kemudian memutuskan langkah selanjutnya yang terbaik. Sebuah langkah sistematis dan antisipatif. Untuk sebuah hasil, ketika kita meneteskan air mata, kita menghapusnya, dan kemudian mengatakan dengan tersenyum bahwa ini air mata kebahagiaan. Tapi, sedikit banyak tentu tidak akan sama dengan apa yang kau harapkan. Tuhan itu bijaksana.

Lagi bayangan-bayangan yang akan datang itu sepertinya akan biasa-biasa saja. Sesudah meletakkan variable pada sebuah fungsi masa depan yang akan terjadi. Hasilnya, biasa-biasa saja. Meski itu di situ terdapat kenikmatan yang indah. Analisis scenario pada rentang favorable terekstrem telah dilaksanakan. Hasilnya, ya biasa-biasa saja itu. Hal ini hanya tumbuh dari rekayasa proses pikiran yang sempit dan pendek seorang anak manusia yang menginginkan sesuatu di masa depan. Dia pikir semudah, sesederhana, dan sebiasa-biasa itu. Bodoh…!!!

Berhenti sejenak. Berpikir dan berkontemplasi lagi…


Bukankah sewaktu kecil kita ditanamkan dengan nilai-nilai indah di masa depan yang hopefully akan kita temukan. Kita memimpikannya. Untuk selalu bertingkah laku sejalan dengan impian-impian indah itu...??

Orang-orang besar menjadi besar dengan impian besar yang mereka ciptakan dan kata-kata besar yang membesarkan mereka. Impian-impian dan kata-kata besar itu mampu mengalahkan rintangan dan hambatan yang sering, susah, pelik, dan menantang itu. Meski, terkadang air mata jatuh ketika mereka merasa begitu terjatuh dan hampir menyerah. Namun, tetap bangun kembali. Sekali lagi hidup itu indah…

Impian itu tumbuh dari tepi laut di kehingan malam. Hanya dihibur oleh ombak kecil bergulung. Terkadang diterangi oleh satu bulan yang anggun dan ribuan kerlipan bintang yang jenaka. Impian itu tumbuh di pelataran kayu ulin hitam tua yang dikolongnya merupakan daratan lumpur hitam berkarang, bersampah, dan lunak. Impian itu tumbuh akan lebih jauh dari kapal tanker dan tugboat yang tertidur di tengah laut sana. Impian itu akan lebih dalam dari dalamnya laut pasang bulan desember. Impian itu akan jauh lebih mahal dari speed boat bermesin dua milik perusahaan tambang batubara terkenal yang bertambat di pelataran sebelah. Impian itu akan lebih dingin dan misterius dari angin malam, dari pekatnya laut di malam hari.

“Sudahya Ki, kita berjuang di jalan masing-masing”

Sebuah pesan pendek yang menutup percakapan tertulis jarak jauh di tengah malam. Dari saudara yang telah merubah jalan hidupnya. Dia telah jauh lebih dewasa. Untuk mewujudkan impian-impian yang tumbuh di tepi laut, di pekatnya malam, di atas lumpur hitam, di pelataran tenang kayu ulin yang dingin.

Saturday, February 7, 2009

Dia adalah seorang yang terbuang
Seorang yang tidak digubris
Seorang yang ter-ada oleh sebuah situasi
Situasi dimana dia pun tidak mau hal itu terjadi
Apakah dia mengutuk keberadaannya sendiri??
Entahlah…

Andai dia mampu
Andai dia bisa
Andai dia cukup memiliki kesempatan
Andai dia memiliki
Andai dia tahu
Dia pasti telah sedang menikmati dunia ini…
Jangankan untuk berandai atau bermimpi,
atau untuk juga akan mengalami,
Membayangkan sajapun dia tidak
Karena dia tahu, itu tidak ada dalam kehidupan ini
Pada posisi dia sebagai dirinya
Dia sadar diri, dia tahu diri!!

Aku masih menunggu di luar. Sementara aku duduk santai melihat lalu lintas orang-orang di jalanan dengan kesibukan untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka masing-masing, sebut saja dia itu “Dia”, juga sedang ingin mewujudkan mimpinya sendiri. Mimpi itu sungguh tinggi baginya, karena menyangkut harga diri, dan keinginan untuk memperlihatkan eksistensinya. Keinginan untuk menunjukkan bahwa dia ada, juga ada. Walaupun aku yang memaksa Dia. Dia tahu diri kok!!

Aku memaksa dia!! Aku memaksa dia untuk mewujudkan mimpinya itu. Dia tidak mengatakan mimpinya itu kepadaku. Aku hanya mampu membaca keinginannya itu dari dalam dirinya. Mungkin aku memiliki sixth sense tersendiri yang terbawa sejak kelahiranku. Kemudian menuntunku untuk berani mengajaknya mewujudkan mimpinya yang tersembunyi itu. Sebuah mimpi yang tersembunyi, terpendam, terkubur dalam mahalnya cangkang kesadaran dirinya.

Aku bosan duduk di kursi tungggu. Sejak tadi yang kulihat hanya orang-orang yang lalu-lalang dengan kendaraan mereka. Aku mau masuk. Melihat sebuah proses seseorang dalam mewujudkan mimpi tingginya. Aku telah memegang gagang pintu. Aku menariknya. Dan aku masuk.

Dia tersenyum melihatku masuk. Ini baru kali pertama dia mengalami hal ini. Berdiri dengan baju berkancing dan berkerah di dalam ruangan kotak dengan cahaya lampu benderang. Perkakas di sekitar dia berdiri asing baginya. Dia hanya tahu salah satu perkakas itu mirip dengan mentudung di meja makan yang sudah tidak pernah dia sentuh lagi selama ini. Dia terlihat rapi, he is trying to be gallant!! Lagi dia tersenyum melihatku. Wanita di depannya yang sedari tadi memberikan komando terlihat sibuk dengan perkakas yang dipegangnya. Wanita ini berjilbab, aku memandang ke wajahnya. Aku melihat sebuah kesabaran yang dipertahankannya. Dia wanita yang baik.

“Kok lama Mbak??’ tanyaku.
“Matanya merem terus” jawabnya.
“Oh gitu…” aku maklum. “Gimana klo nggak usah pake blitz Mbak??” tanyaku lagi.
“Nggak bisa”
Wanita ini kembali bekerja dengan kameranya. Dia masih berdiri canggung di depan background biru, menunggu komando dari wanita tadi. Berkali-kali dicoba, matanya selalu tertutup.
“Coba tahan matamu Di, jangan hiraukan cahaya!!’ aku ikut memberikan komando.
Dia menangguk dengan senyuman.
“Merem aja dulu, nanti klo sudah aku hitung sampai tiga buka mata ya!!” wanita itu memberikan komando lagi”
1…2…3…Jepret!!…Final…Akhirnya dia berhasil mempertahankan matanya tetap terbuka.

Walaupun serangan kilat dari mentudung tadi menusuk bola matanya. Dia telah berhasil membuat foto warna untuk persyaratannya membuat Kartu Tanda Penduduk yang telah menjadi mimpi besarnya selama ini. Seharusnya dia telah memilikinya ketika dia berumur tujuh belas tahun tujuh tahun yang lalu.
Kami duduk. Kulihat senyum yang berbeda di wajahnya. Senyum saat ini benar-benar senyum puas dan bahagia. Dan ternyata senyum di dalam ruangan tadi itu merupakan senyum seseorang supaya tidak dicap sebagai seorang yang udik. Dia mempertahankan keberadaanya…

Foto telah selesai di cetak. 4x6 2 lembar, 2x3 4 lembar, satu keping CD. Jumlahnya Rp 25.000,-. Bill dibayar.


Pagi Jum’at…

Pagi pukul delapan menuju ke sembilan. Aku berputar-putar di salah satu jalan di Kotabaru. Dekat dengan Kodim Kotabaru. Aku lupa nama jalannya. Ingatanku berucap di sinilah Kantor Catatan Sipil berlokasi. Masih putar-putar. Celingak-celinguk. Para panitera sedang senam pagi di depan kantor mereka, Kantor Kejaksaan. Kantor Pengadilan Agama sepi. Para tukang ojek sedang duduk ngobrol. Ibu-ibu berkerumun di depan gerobak dorong sayur. Aku tidak menemukan kantor Capil. Aku bertanya kepada seorang tukang ojek. Dia memberikan alamat yang kemudian kusadari bahwa aku ternyata lupa, aku baru ingat. Aku menuju ke sana. Jalan H. Hasan Basri.

Aku telah berdiri di pintu kantor Capil. Melihat-lihat ke dinding. Mencari tahu bagaimana prosedur pengurusan KTP. Mungkin di seluruh dunia, atau hanya di Indonesia, atau hanya di kabupatenku, ketika memasuki instansi, no one greets me!! Or, may be just trying to show the easygoing bureaucracy. Para pegawai sibuk. Buka sana-sini, membolak-balik berkas, membenarkan kaca mata, stempel sana-sini. Aku menyapa seorang pegawai.

“Ngurus KTP bagaimana ya??”
“Mas, sudah memiliki kartu keluarga??”
“Oh, bukan untuk saya, untuk teman”
“Ada kartu keluarganya??”
Aduh!! Pertanyaan yang susah.
“Kita beruntung lahir dengan esensi-esensi sebuah kelahiran ada di sekitar kita, bapak, ibu, menunggu dengan harapan besar akan kelahiran kita. Bagaimana untuk seseorang yang lahir dengan ketidakinginan orang tuanya, kemudian ditinggal orang tuanya?? Bisakah dia memiliki kartu keluarga untuk dirinya sendiri??” aku bertanya lagi.
“Tetap tidak bisa, kecuali jika dia sudah menikah. Atau masih ada wali lain??”
“Neneknya ada, tapi sudah tua dan pikun, bagaimana??”
“Ya dengan neneknya”
Aku pergi keluar, membawa blanko permohonan pembuatan KTP dan Kartu Keluarga. Kami bergegas ke kelurahan.

“Pak, urusan KTP di mana??”

Pegawai itu menunjuk ruangannya. Di dalamnya ada empat pegawai, tiga perempuan, satu laki-laki.

“Meulah (membuat) KTP Pak” aku menyerahkan Kartu Keluarga paman si Dia.
“Oh ikam (kamu) anaknya Junaidi (nama samaran)??” tanya pegawai laki-laki.
“Lain (bukan) Pak, uluh mengurusakan KTP Dia.”
“Oh, iya-iya” pegawai kelurahan mengerti, dia sudah mengenal Dia.
“Gasan (untuk) apa KTP?? tanya pegawai.

Pegawai ini telah mengenal Dia. Pegawai ini tahu bahwa KTP tidak berfungsi bagi si Dia. Bukan untuk mengurus SIM, bukan untuk mengurus pendidikan, atau urusan lain-lain. Pegawai ini mungkin sadar dia menanyakan pertanyaan yang bodoh. But he is curious…

“Bapak tahu akhir-akhir ini polisi razia premanisme. Siapa yang tidak memiliki KTP dan keluyuran di malam hari, kena periksa, di tangkap.” Jawabku
Pegawai bertugas. Menulis identitas si Dia di blanko. Sekali-kali dia menanyakan identitas Dia.

Jika hanya ditangkap dan di data dirinya, bagi seorang Dia yang bahkan tidak lulus SD ini, akan menjadi pengalaman yang tidak terlupakan baginya untuk berurusan dengan sebuah instansi walau itu kepolisian, dia mungkin akan senang memiliki pengalaman itu. Tapi jika ketika di data Dia dibentak-bentak, dikatakan bodoh, dikatakan melawan petugas. Who wants?? Bahkan, untuk seorang yang tidak bersekolah, dia marah diperlakukan seperti itu. Aku masih ingat ketika dia menceritakan hal itu di pelataran tepi laut malam hari itu. Dia benar-benar emosi, marah, jengkel, sumpah serapah. Aku belum pernah melihat itu sebelumnya dari Dia, sejak kami masih kecil!!

“Tanggal lahir??” pegawai itu menanyakan lagi.

“8 Juli 1986” jawabku. Sebuah tanggal rekayasaku.

Tidak ada data yang kudapat dari Dia ketika kutanya mengenai kelahirannya. Dia tidak tahu. Nenek dia tidak tahu atau mungkin sudah lupa. Sepertinya tidak ada orang-orang yang tahu. Atau hanya tidak peduli. Mau mencari ibu atau bapaknya, tidak tahu di mana keberadaan mereka. Shit!!

Entah kenapa, aku seolah merasa sok pintar dan lebih tua dari bapak dan ibu-ibu pegawai yang ada di ruangan aku berada saat ini. Aku berceramah dengan kemarahan yang tersembunyi di wajah sok pintar dan sok tuaku saat ini.

“Ya, seharusnya ini tugas ketua RT atau petugas dari kelurahan untuk inisiatif, peduli kepada mereka-mereka seperti Dia yang tidak tahu baca tulis dan ekonomi lemah. Untuk mengakui keberadaan mereka. Namun, kita tahu, kita semua diminta pertanggungjawaban kita atas orang-orang seperti mereka, mengenai peran kita.”

Satu ibu pegawai dan bapak pegawai di depanku, menunduk pelit. Wajah mereka berubah. Aku tahu, hati mereka tersadar. Aku tidak peduli dengan persepsi mereka terhadapku. I say what I want, that I think I have to…

Kemudian, hatiku mulai basah ketika ku dengar pegawai itu menanyakan nama orang tua si Dia kepada Dia. It doesn’t seem as a question answered with the exact answer, it is like a bargaining process.

Selesai di kelurahan. Kami menuju ke Kantor Kecamatan. Prosesnya singkat di sini. Blanko di stempel. Kemudian petugas meminta si Dia menandatangani blanko. Dia tidak bisa baca tulis. Namun, Dia dengan berani mengambil pena yang telah disodorkan kepadanya. Dia menandatangani dengan singkat dan tegas, itulah kesan yang muncul!! Hebat. Dia benar-benar ingin mewujudkan mimpinya.

“Ikam (kamu) harus ingat dengan bentuknya!!” instruksiku kepada Dia terkait tanda tangannya.

Di Kantor Catatan Sipil, aku menyerahkan blanko. Kemudian diberikan selembar kertas berstatus sebagai tanda terima dan bukti untuk mengambil KTP yang telah selesai dibuat nantinya. Tidak ada keterangan bahwa ini dapat dipergunakan sebagai KTP sementara, meanwhile kami harus menunggu selama satu setengah bulan untuk KTP itu selesai. Harus berapa kali patroli polisi harus di waspadai oleh Dia. Seolah kucing-kucingan dengan petugas. Sementara itu walau hanya duduk di sekitaran kampung sendiri di malam hari.

“Ibu, tidak ada keterangan di sini bahwa ini dapat dipergunakan sebagai KTP sementara??” tanyaku heran.

Pegawai ini tidak dapat berkata untuk beberapa detik. Tak lama mulutnya mulai bergerak…
“Ya, seperti itulah adanya” jawabnya dengan susah.

Di sini, seharusnya aku bertanya kepada system, bukan kepada Ibu ini…