Monday, June 29, 2009

EXPANDING THE COMFORT ZONE (KKN part 2)


Sometimes, the ending is just the beginning…



Hidup itu seperti senja. Seolah dia mengatakan bahwa sesuatu yang akan datang itu menakutkan, tidak baik, dan kelam. Pada saat senja, kau merasakan akan tiba saatnya kegelapan berkuasa di bumi. Pada saat senja kau merasakan bahwa dirimu akan sendiri, sepi. Pada saat senja kau merasakan bahwa impian-impianmu itu sebenarnya hanyalah mimpi yang takkan pernah kau raih dan dapatkan. Pada saat senja pula kau merasakan akan sampai saat untuk merasakan kekosongan dan ketakutan.

Senja menjadi ketakutan tersendiri. Ketakutan dirimu akan keadaan seseorang yang kau sayangi di luar sana. Akankah dia baik-baik saja? Merasa nyaman dan amankah dirinya saat senja menjelang dan yang terjadi kemudian? Ketakutan akan dirimu yang tertinggal sendiri untuk menghadapi hari tanpa orang tua yang menasehati dan menyayangi. Seolah bumi dan segalanya isinya menjadi hal yang sangat sombong untuk bersahabat denganmu kemudian.

Tapi, jika kau cukup memiliki keberanian untuk melewatinya, bukankah malam itu indah. Semakin tua umur malam itu, semakin kau hanyut dan merasa tenang di dalamnya. Dengan menahan tidur kau bisa melihat bintang yang semakin malam semakin banyak jumlahnya. Bersahut-sahutan dalam kerlipannya. Membentuk sesuatu sehingga kau mengenal yang namanya rasi bintang. Menjadikan dirinya penting bagi para nelayan untuk mencari jalan pulang. Untuk membuat meriah samudera, yang awalnya sepi dan dingin, menjadi sebuah dunia perjalanan indah tersendiri bagi pelakunya.

*****


Agenda ini membuat kepayang. Dia dan tugas rutin, sungguh membuat nafas sudah tinggal di ubun-ubun. Satu tambah satu sama dengan tiga, begitulah si sinergi bekerja. It lessen my time. Mereka membuat tubuh semakin lebar dikarenakan kurang waktu untuk olahraga. Mereka membuat rambutku tegang selama setidaknya dua bulan terakhir ini. Mungkin ini yang menyebabkan uban setengah matang yang mengaku keren kemarin tumbuh di antara si hitam mayoritas di kepalaku.

Dalam waktu kurang dari seminggu, aku akan telah menginjakkan kaki di Sumatra. KKN MAHASISWA. Keren bukan nama agenda itu?? What do the people think about the university student exactly?? What can I do for the society?? Will it worthy for them??

‘Suka dengan hal-hal baru!!’

Begitu mengesankan bukan slogan itu. Tapi bukan aku yang menyatakannya. It’s just so overconfident. Biasanya banyak kau temukan pada akun-akun di Facebook atau Friendster atau Twitter, atau para artis yang mengucapkannya di acara talkshow atau infotainment. You and me must remember perhaps, that this is not easy to dealing with the new things, is it??

Pra dan setelah keberangkatan pasti telah dan akan membuatku seseorang yang berbeda. Mencoba mengidentifikasi dan berkontemplasi mengenai hal-hal baru yang telah dan yang akan datang. Nothing is perfect, but they will attribute you. Okay, I accept that. I have been trying to compromise with my self.


OUT OF THE COMFORT ZONE

Let me list the things which are not in my comfort zone. Here they are:

Rapat. Sebuah kata yang keren untuk diucapkan. Kata ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang beruntung dan memiliki kemauan. Beruntung untuk bisa sekolah, berorganisasi, memiliki pekerjaan, dan tentu mereka dapatkan karena mereka memiliki kemauan untuk itu. Tapi kadang-kadang (or often??), berorganisasi itu hanya seperti window dressing pada laporan keuangan, atau make-up pada wajah.

“Yah, aku ikut BEM agar curriculum vitae-ku lebih bagus aja nantinya” dengan senyum temanku mengatakan seperti itu kepadaku.

“Organisasi itu asyik lagi, ngecengin siapa kek gitu!!” Biasanya laki-laki yang dengan percaya diri menyatakan hal ini.

Aku harus ikut rapat. Terakhir rapat sepertinya sewaktu SMA. OSIS itulah nama organisasi keren nan narsis itu. Setidaknya agar tidak ketinggalan informasi mengenai agenda yang hanya ber-SKS tiga ini. But often bentrok dengan jadwal kuliah. Kuliah tentu menjadi prioritas. Kamu kan ke kota ini bukan untuk rapat Ky?? He….

Ngamen. Aku tidak tahu ini hal yang justifiable apa tidak. Tapi aku kini telah pernah berada pada posisi yang berbeda dalam kehidupan ini. Mengajarkanku untuk how to behave toward or treat them. They are great people actually.

Satu pengalaman menarik ialah ketika para foreign student yang kami coba hibur, dan mereka requested lagu berbahasa inggris, dan kami menyanyikan, but they just gave us Rp 1.000,- Padahal mereka sudah menang secara kurs dengan negara kasihan ini. Tetapi mereka hanya memberi sepersepuluh dolar Amerika. “Siapa suruh menyanyi fals!!”

Jualan Baju Bekas. Pukul tiga pagi yang mana ketika para karyawan SPBU yang bermata hanya tinggal lima watt, aku menggangu mereka. Perjalanan berjarak lumayan ke pasar depan Candi Prambanan. Baju, celana, tas-bekas yang kami kumpulkan dari para pemiliknya, terjual dengan harga tidak lebih lima ribu rupiah per item. Untuk baju, paling mahal berharga dua ribu. It’s was sold. Sejalan dengan meningkatnya ekonomi Indonesia yang diteriakkan pemerintah!!?? Or it’s just about the mentality??


EXPANDING THE COMFORT ZONE

I faced those realities. Give me other perspectives, about the people, about the life, and about the process. Prior, I bothered me, my comfort zone. But, Don’t we have to change, do we?? To survive, to be better, to be stronger, to be wiser, to be greater.

The Change, a word that I’m not supposed to be afraid of. It’s all about expanding the comfort zone solely…

Saturday, June 13, 2009

A BLESSING WEEK


You can’t count what the God has been giving the all to you, that you have to do is just expressing your gratitude…


The Miracle of Alms

Siang Kamis tanggal 4 Juni 2009. Siang yang begitu terik. Di sela-sela kesibukan untuk mempersiapkan tugas presentasi, aku menyempatkan diri untuk melangkahkan kaki ke gedung pusat, meninggalkan tim yang menyelesaikan tugas masing-masing.
Aku tergesa-gesa, berjalan cepat dan berlari kecil, agar tidak terlalu lama meninggalkan tim.

Sesampai di gedung pusat lantai tiga, tarik-hembus nafasku begitu cepat. Karyawan gedung pusat sudah menunggu bagi para peserta KKN untuk mengambil properti-properti dan dokumen / pencatatan yang harus dilakukan dalam KKN nanti. Aku mengantri di belakang kerumunan mahasiswa jilbaber.

Tiba giliranku. Salah satu karyawan ini membuatku sedikit jengkel dengan dirinya. Sok tahu, sok berkuasa, dan feminim. Aku manggut-manggut saja untuk mempercepat proses ini. Aku pulang, sangat singkat.

Di perjalanan menuju kembali ke kampus fakultas ekonomi, aku melihat seorang nenek dengan dua cucu beliau mungkin. Kedua anak tersebut kembar. Pakaian sama, tinggi sama, dan wajah sama. Mereka bertiga terlihat berpakaian lusuh, namun si kembar yang mungkin berumur 2,5 tahun tersebut saling bercengkrama, mereka senang. Sementara sang Nenek, menenteng plastik besar transparan. Apa yang sedang di bawa sang nenek terlihat olehku, tapi aku tidak tahu apa itu. Pakaian atau apa? Yang pasti juga lusuh.

Tidak sedikit kaum papa yang berseliweran di kampus yang katanya kerakyatan ini. Mengais-ngais barang rongsok, lusuh, dan bekas di sekitaran kampus, yang mungkin di balik barang-barang yang kedinginan dan sendirian itu, ada suatu nilai yang bernama rezeki. Sementara sang ibu duduk melipat-lipat plastic transparan lebar di bawah tangga, sang anak bermain mobil-mobilan di mushala kampus. Sementara sang anak tertawa dan tersenyum senang melihat ikan-ikan yang berwarna dalam kolam-kolam kampus, sang ibu menengadahkan gelas plastik bekas gelas teh kepada para mahasiswa yang berlalu lalang. Mereka tidak mengindahkan jarak duduk mereka dengan lewatnya mobil-mobil dosen dan mahasiwa. Mungkin kehadiran mereka terlihat mengherankan di mata sivitas, dosen tamu, ataupun CCTV kampus. Atau sivitas sudah mulai menyesuaiakan diri dengan hal ini. Mereka tidak perduli.

Melihat dua cucu kembar sang nenek tadi, aku tersenyum miris. Senang dan sedih melihat mereka tertawa. Pikiranku langsung terasosiasi kepada adikku. Bagaimana jika mereka adalah nenek dan adik-adikku. Syukur terpanjat dalam hati dengan kondisi diri ini jika dibandingkan dengan mereka. Aku menghentikan motor, membuka dompet untuk mencari rupiah yang bisa dialirkan kepada mereka. Nenek yang melihatku berhenti langsung berjalan menuju kepadaku. Kejadian ini dilihat setidaknya oleh empat petugas parkir gedung pusat. Aku memberikan nenek tersebut rupiah yang hanya senilai dengan dua kali makan standar di kota ini.

“Terima kasih, Tuhan nanti yang akan membalas semuanya!!” Nenek berucap kecil.

Aku merasa bahagia, sedih, dan perasaan lain yang bercampur. Sekali lagi aku bersyukur dengan kondisi diri sendiri.

Tidak lama aku tiba di kampus untuk melanjutkan tugas presentasi, panggilan masuk handphone yang berbunyi kecil menghentikan konsentrasiku. Ternyata dari ibuku. Beliau menanyakan kabar aktifitas kuliahku. Apakah ada hari senggang sedikit dalam beberapa hari ke depan ini. Aku menjawab, seminggu ke depan aku minggu tenang. Beliau memintaku untuk bertemu di suatu kota karena tak sempat untuk singgah di kota bakpia ini. Artinya aku akan bertemu ibu dan adik-adikku, libur sebelum tempur ujian, dan tentu menghabiskan waktu yang menyenangkan dengan mereka.

Telepon ini tidak lebih dari lima belas menit setelah aku memberikan sejumlah rupiah kepada nenek dan cucu-cucunya tadi. Jika tadi aku menjadi rindu dengan adik-adikku karena melihat si kembar itu, kini Tuhan justru memberikanku kesempatan untuk bertemu dengan mereka dan tentunya Ibuku. Aku merasa keraguanku atas pernyataan-pernyataan kerap Ustadzh Yusuf Mansyur kini terjawab. Aku tidak-menyangka cara dan jalannya. Tuhan memberitahuku dengan caranya yang tidak terduga, dengan lebih berlipat nilainya. That’s the miracle of alms.


HUKUM TERBALIK YANG MENGHEMPASKAN


Tidak terasa dua hari bertemu dengan ibu dan adikku, akhirnya kami harus berpisah kembali. Aku harus kembali ke kota bakpia dan beliau kembali ke rumah. Agenda beliau kali ini telah selesai.

Masih teringat di kepalaku bagaimana paniknya ketika diaper adikku yang penuh, yang hanya ada aku di situ.

“Tunggu jika Mama sudah datang, baru ganti”. Begitu yakin aku mengucapkan kalimat itu, adikku masih belum mengerti. Dua jam menjaga seorang balita sama susahnya untuk meminta maaf kepada pasangan. Keduanya sama-sama membutuhkan aku berperilaku melelahkan, untuk membuatnya tidak marah, tidak membosankan, dan mau tersenyum.

Masih teringat betapa kencangnya teriakkan adikku ketika dia berteriak karena sandal yang baru dibelinya itu tidak memuaskan hatinya. Sandal tersebut tidak mengikuti keseluruhan kakinya ketika berjalan. Sebagian sandal berkhianat dari bentuk kakinya. Dia marah, berteriak, dan memukul lantai ubin dengan keras, walhasil dia kecewa sendiri dan menangis kencang. Semua pengunjung tempat perbelanjaan melihat kepadanya dan aku dan ibuku. Ah bikin malu aja.

Masih teringat dengan adikku yang begitu menikmati mobilitas menggunakan lift. Kotak ajaib yang mengantarkan tubuh tanpa lelah. Berjalan dan berlari di lobby yang penuh dengan orang-orang dengan urusan masing-masing. “Sini ah, diam sini, aku capek!!” Yah, dia jalan-jalan lagi.

Kami menuju barisan taksi yang mengantarkan ibu dan adikku ke bandara. Sementara aku akan menggunakan taksi yang lain untuk menuju stasiun kereta api.

Ibuku masuk ke taksi setelah memasukkan adikku terlebih dahulu.

“Mama pulang ya, terima ya Nak!!”

“What??” ibuku mengucapkan terima kasih kepadaku. Sebuah kata yang tidak sepantasnya diucapkan oleh seorang ibu kepada anak-anaknya. Aku merasa seperti tidak merasa. Kenapa ibuku mengucapkan kalimat itu. Mungkin aku merasa durhaka, seharusnya aku lah yang mengucapkan hal itu, selalu, tanpa harus menunggu lebaran dan hari ulang tahun, dan momen-momen berjarak waktu lama yang lain. Aku sudah untuk sepantasnya membuat beliau bahagia. Tiada seorang yang berhasil, tanpa keberhasilan sang ibu dalam mendidik anak-anaknya. Tiada seorang pemimpin berhasil tanpa keberhasilan sang ibu dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada anak-anaknya. Tiada kelembutan seorang anak tanpa kelembutan yang dicurahkan oleh sang ibu. Melalu satu kata yang universal dan kekal,yaitu CINTA.

“Saya Ma’ yang seharusnya berterima kasih” aku menjawabnya.

Ibuku menciumku dan aku mencium adikku. Kami berpisah.

Saturday, June 6, 2009

Never Before


Dalam perasaan tenang, untuk beberapa waktu…

Pagi menuju subuh. Aku merasa sedikit leluasa untuk bernafas dan bergerak. Akhir-akhir ini merupakan masa yang sungguh menghimpit dalam ekstase tugas-tugas kampus. At least, kurang dari dua puluh empat jam, aku harus melakukan dua presentasi. I commited to be all out for the both. Keduanya mata kuliah favorit. Mata kuliah yang membelalakkan mataku dan mengarahkan kakiku untuk melangkah pada dunia yang sebelumnya belum ku pijak, menuju dunia yang lebih menantang. A new greater world!! “Hello, ini lo sesuatu yang harus kau lihat!!” mungkin mereka berkata begitu.

Ekspektasiku lebih kurang lima bulan yang lalu pada kedua dosen ini terjawab, meski tidak sempurna. Itu hanya merupakan masalah klasik ekonomi, mengalokasikan sumber daya yang terbatas. Sementara the others merasa hari Kamis itu hari yang menyesakkan, bagiku setiap hari tersebut , lima bulan terakhir, merupakan hari yang benar-benar hebat, I would not miss this day!! Because they challenged me!! Dan aku menerima tantangan itu.

Pagi ini, aku membuka kembali slide powerpoint yang telah kubuat kemarin. Mengorbankan waktu tidur. Berdamai dengan sang fisik. Aku minta dia memberiku excuse untuk hanya sedikit tidur dari biasanya, dan dia memintaku untuk memberikan kompensasi atas kebaikannya tersebut. Aku memberinya dua biji Vitacimin dan konsumsi air yang cukup per hari. “Ok, aku setuju, It’s a great deal, wasn’t it body??” Meski tarik ulur dengan radang tenggorokan tidak terelakkan.

Sudah sifatku untuk membenci slide-slide yang panjang lebar. Aku merasa seolah mereka mengganti PowerPoint dari Microsoft menjadi PowerScript. Maukah Anda diberikan wejangan presentasi seseorang yang mana slide-slide yang dibuatnya seperti koran yang harus Anda baca berjarak setidaknya lima meter?? Apakah Anda tidak bertanya ketika keadaan tersebut menimpa Anda, bukannya aku seharusnya mengikuti presentasi sore ini tapi kenapa aku berada di tempat tes kemampuan mata?? Menjemukan!!

So, aku memaksa tim untuk tidak menggunakan paparan yang panjang lebar. That was how the PowerPoint should work!! Selain itu, aku juga meminta agar tidak membawa catatan kecil ketika memberikan presentasi. Show your capability up!! Dan mereka menerimanya. Thankyou-thankyou my team. Ini demi kebaikanmu. Hehe…

Selain itu, aku berusaha untuk meng-insert gambar-gambar yang relevan dan explaining di tiap-tiap slide. Dalam hal ini aku berterima kasih kepada Larry Page dan Sergey Brin atas Google-nya. Juga, dengan kata-kata touching dan unusual, but it must be relevant of course. I made it. Aku rasa terlalu sempit jika kita merasa kesuksesan hanyalah ketika kita mampu mencapai target nun jauh di sana beberapa tahun lagi itu yang kita sangat idam-idamkan. Change it!! Respect your life!!

This story is not about me. This is about dua dosen hebat yang aku banggakan. Mungkin suatu saat aku harus mendirikan fans club untuk dua dosen hebat ini. Memang titel impor mereka bukan sebuah retorika. Dan untuk pertama kalinya kepada seorang dosen aku mengucapkan “Pak minal aidin wal faidzin ya Pak, LUAR BIASA!!” Aku bukan tipe seperti Pasha atau ‘aktifis’ MLM yang sering mengeluarkan kata LUAR BIASA dalam keseharianku.

My lecturers, thank you so much…

P.S : Ini masalah tendensi dan point of concern, bukan berarti yang lain tidak baik.