Sunday, January 25, 2009

Di Tengah Malam, Di Tengah Laut

00.45 WITA

“Kemana Cut??” tanya Razua. 

“Bulik (pulang)” jawab Encut.

Kemudian disusul dengan kawan-kawan yang lain. 

“Guring dimana Cut (tidur dimana Cut)??” tanyaku lagi.

“Aku bemalam di rumah Julpin (Nginap di rumah Julpin).” 

Tinggal aku dan Halid. Ia sedang berbenah untuk menutup kios vouchernya di seberang jalan aku berdiri. Lampu berwarna dimatikan olehnya, sehingga sudah tidak tampak lagi bermacam-macam voucher kartu prabayar di dalam lemari kaca itu. 

Aku berdiri di tepi jalan. Memandang kiri dan kanan, ke ujung-ujung jalan. Sepi dan gelap. Hanya satu-satu motor yang lewat. Terdengar bunyi mesin-mesin kapal nelayan di kejauhan di tengah selat laut. Bunyi harapan akan rezeki halal dari hasil laut. Sementara itu, speedboat yang seperti anak kecil namun aktif di tengah selat laut sana juga memecahkan kesenyapan malam. 

Saat-saat indah bagi Razua ialah malam hari. Malam itu tenang. Malam itu damai. Malam itu ketika kerasnya batu kebencian di siang hari pecah menguap. Malam itu dimana ketika manusia tidak risau dengan masa depan yang misterius. Malam itu hidup saat ini. Malam itu untuk menikmati hidup. Malam itu juga keindahan. Masa dimana buah-buah inspirasi karya seni bermunculan. Itu mengapa Razua begitu menikmati malam. 

Namun Razua harus mengakhiri malam ini dengan teman-temannya. Harus pulang ke rumah yang berjarak tujuh kilo meter dari tempat dia berdiri saat ini. Malam itu, dimana ketika peri-peri kebijaksanaan menghampiri dan bergurau denganmu. Razua tidak merasa sendiri dan sepi di malam hari. Peri-peri itu akan menemaninya. Peri-peri itu berasal dari kerajaan malam. Yang diutus oleh sang raja untuk para penikmat malam.


Tiba-tiba Paman Hamna melintas.

Karena sudah cukup lama tidak berjumpa sua, Razua langsung menyalakan motornya, kemudian bergegas untuk menghampiri Paman Hamna.

 “Sibuk banar kah tu sampai malam kaya ini masih kujuk-kujuk (sibuk sekali ya sampai malam begini masih kesana kemari)??” Razua menyapa.

“Iih, bulang balik ke Pemancingan (Iya nih, bolak-balik ke Pemancingan). ” Jawab Paman Hamna.

“Haaa, di tengah laut, pakai apa (menggunakan apa)? tanya Razua lagi.

“Hiih (Iya)!! Pakai speed. Umpatkah (Ikut gak)??” ajak Paman Hamna.

“Ayo!!!” Razua mengambil keputusan cepat.

Paman Hamna langsung menjalankan motor ke Hilir. Menuju gudang pembuatan es balok. Es balok tersebut dijual kepada nelayan yang pergi melaut, untuk ikan-ikan agar bertahan lama. Razua mengikuti dari belakang. Sepanjang jalan aspal yang hanya dipisahkan oleh rumah warga dengan selat laut sangat sepi. Suara-suara kapal nelayan masih mengikuti detak-detak waktu yang terus berjalan.

“Ya sudah kunci aja sepeda motor di situ!” Paman Hamna berujar setelah kami sampai di gudang pembuatan es.

“Kada hilangkah (tidak hilang)??” tanya Razua.

“Kada pang, lekasi (Tidak lah, ayo cepat)!!”

Ternyata dua teman beliau sudah menunggu di atas speedboat. Mesin dinyalakan. “Bremm!!”. Speedboat jalan mundur. Kemudian sang teman langsung tancap gas. Speedboat ini beranjak. 

“Sudah dua kali aku bulang-bulik ke Pemancingan ni.” Paman Hamna memulai pembicaraan.
“Emm!!” Razua hanya mengangguk. Tidak menarik baginya untuk melakukan konversasi saat ini. Razua melihat ke sana ke mari. Semuanya laut, air asin.

Sepi, tenang, damai. Indah sekali berada di tengah laut, apalagi di tengah malam seperti saat ini. Duduk di atas kendaraan berbahan fiber supercepat. Angin tidak berhembus dingin malam ini. Di atas sana bintang-bintang membentuk formasinya masing-masing. Razua tidak memahami tentang rasi bintang. Razua hanya melihat formasi yang membentuk seperti ikan pari yang diketahuinya. Tongkang-tongkang pengangkut batubara tidur pulas dalam pekatnya gelap malam. Mengikatkan dirinya dengan kapal-kapal tugboat yang selalu menarik mereka kemana-mana. Kapal tanker sedang berbaring malas. Begitu banyak lampu di tubuhnya yang menawan. Sedikit melawan dengan gelap. Air laut pecah dihantam alas kaki speedboat. “Bwar-bwar!!”. Pecahan air laut itu berwarna biru menyala. Kemudian redup digantikan pecahan air selanjutnya. Kemudian pecah dan digantikan lagi. Begitu seterusnya.

Kami sudah berada di kawasan pemancingan. Sudah terlihat tiang kapal besi yang sudah lama tenggelam di tengah laut ini. Ceritanya merupakan kapal besi Belanda jaman dahulu. Tertanam dan mati di sini. Kata nelayan memancing di sini ikan kerapunya besar-besar. Dan jika siang hari, air sedang surut, para nelayan dari suku Bajo sering bermain bola di gusung kawasan ini. Mereka berangkat dari rumah mereka yang berjarak lebih dari dua puluh kilometer menggunakan kelotok hanya untuk bermain sepak bola di pasir putih. Asyik pasti!!

Juga, di kawasan ini ada terminal untuk batubara yang akan diekspor. Namanya North Pulau Laut Coal Terminal, sering disingkat NPLCT. Dimiliki oleh satu perusahaan batubara yang kemarin menunggak royalti begitu banyak pada negara. Panjang salurannya dari penampungan ke dermaga tempat kapal tongkang dan tugboat untuk loading batubara mungkin ada satu kilometer, bahkan lebih. Sepanjang itu, dihiasi dengan lampu-lampu kuning benderang. Semarak di tengah laut. Seperti naga api bercahaya yang berjalan di atas air laut. Kami melintas di depannya.

Akhirnya, kami tiba di kapal tugboat dimana kami harus singgah. Beberapa awak kapal yang berdiri di luar memandang kami yang mendekat. 

“He messo maneng ko (Ni kenyang semua kalian)!!” Paman Hamna berujar sambil tersenyum, menyerahkan bungkusan plastik. 

Kami kembali lagi ke gudang es tadi. Agenda hanya untuk menyerahkan bungkusan tadi. Tidak penting itu apa. Mungkin nasi goreng favorit para awak kapal. Malam ini indah.


Catatan: Menggunakan bahasa Banjar Kotabaru. Kalimat langsung yang terakhir merupakan bahasa bugis.

 


Saturday, January 24, 2009

ABSTRACT

BACKGROUND:
Hospital pharmacy installation is a part or a facility in the hospital, a place where the all of pharmaceutical work that needed in the hospital is exercised. Beside that, pharmaceutical services in the hospital is a part that can not be separated from the intact hospital service and has the orientation toward the service to the patient and delivering of qualified drugs. Usage process of drugs is a complicated system which is consist of several steps that should be done to attain the optimal therapy, for instance inappropriate drugs usage will cause the preceding activities that has been done well to be useless. Work procedure overwhelms all of activities, begin with the receiving the drug prescription till the delivering the drugs to nurse in ward or the patient’s family. Hence, all of the officials at the both Rawat Inap and Rawat Jalan section in the RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta have to know and implement the work procedures that had been established by the hospital management. This research aimed to knowing the correlation between the officials’ knowledge about the work procedure with the work performance at both Rawat Inap and Rawat Jalan section on pharmacy installation in RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

METHOD:
The type of this research was quantitative descriptive that executed with the cross sectional approach. The involved variabel in this research were the level of the officials’ knowledge about work procedures as the independent variabel and the official’s work performance as the dependent variabel. This research was exercised on January 2009, which the magnitude of the sample was 28 officials. The data collecting used the quizionaire. The result of the research was analyzed in univariat and bivariat manner with the Kendall Tau test.

RESULT:
The result of the analysis showed that coeficient corelation of Kendal Tau was 0.335 with level of significance was 0.015 (p<0.05) which showed that higher the level of officials’ knowledge toward the work procedure, higher the official’s work performance.

CONCLUSION:
There was significant positive correlation between the level of officials’ knowledge toward work procedure with the officials’ work performance at both Rawat Inap and Rawat Jalan section on pharmacy installation in the RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

KEYWORDS:
Hospital pharmaceutical installation, the level of knowledge, work procedure, and work performance.

Thursday, January 22, 2009

Edisi Pulang Kampung #2

Dalam keadaan sulit, terdesak, genting, rumit, biasanya manusia akan spontaneously mampu melakukan hal-hal yang sebelumnya dia yakini tidak mampu untuk melakukannya. Tanya hal itu pada psychologists, you will find the theories abundantly. Tanyakan hal itu pada seorang ibu yang baru saja menyelamatkan anaknya dari dalam rumah yang sedang terbakar, you will find the real experience. You will find an epic theory which is there are so much loves inside.Dunia maya mampu menjadi medium yang handal dalam membuat the users menjadi narsis di luar batas yang tidak dia kira sebelumnya. Berpuluh foto yang di-upload ( I didn’t think that I could), saying or typing the rhetoric words, or pretending to be another person.


DUnia maya juga mampu menjadi medium dalam hal ini sebagai mak comblang pertemanan antar banyak users. Juga, menjadi mak comblang dalam arti yang sering dipakai people dalam hal pencarian, untuk menemukan jawaban, who thy soulmate is.
Kembali peran dia sebagai sebagai situs pertemanan. Masuk ke dalam duniaku. Dalam keadaan terjepit, kondisi warnet ramai bak SPBU di tengah hari, atau Capitol Hill pada waktu pelantikan Obama kemarin (hyperbolic). Aku mencoba menuliskan hal yang lucu bagiku. Hal yang membuat aku tertawa sendiri. Baca dan dengarkan!!
Pulang kampung dalam keadaan tugas kuliah yang belum rampung. Kemudian ada keperluan yang diperintahkan oleh mom, so I have to access the internet. Checking the friendster, seeing my account. Answering the testimonials. Dalam keadaan bingung,while waiting the loading, throwing my eyes to outside, to the door, trying for getting the freshness. Then I saw the girl who I met on the internet, on the friendster. Hey tu orangnya. We could not say any thing. Just seeing each others. Speechless. 
Lihat itu manusia, dan itu situs pertemanan. Situs pertemanan benar-benar mampu membuat users narsis dan bertindak di luar batas yang mampu dia lakukan pada dunia nyata. Dan tahukah kamu, lady itu sudah ada duduk dan mengakses computer di sebelahku. Hello we just gave the sweet smiles 


Edisi Liburan-Pulkam #1

12.45 waktu Indonesia bagian tengah. Hujan mulai turun lebat, berhenti, kemudian lebat lagi. Kencang deru hujan terhadap atap. Pasti biji-biji air hujan saat ini besar. Kondisi akomodatif untuk tidur. Sebelah timur merupakan perumahan warga yang bertetangga dengan pohon-pohon, lebih tepatnya hutan yang ditumbuhi perumahan warga. Di sebelah timur, merupakan hutan mangrove yang telah membuka diri mereka untuk dikapling-kapling sebagai lahan perumahan warga, atau untuk menjadi empang-empang. Sementara aku mencoba ikut meramaikan riuhnya pesta air hujan di luar dengan bunyi keyboard yang diketik dan dengan backsound album religi Ungu.

"Alhamdulillah ku syukuri semua

Terima kasihku ya Allah atas Indahnya hidup

Alhamdulillah ku syukuri semua

Terima kasihku ya Rabbi atas rahmat dalam hidupku"

Senang rasanya bisa kembali di suatu tempat yang dimana disebut rumah. Bisa kembali ke kampung halaman. Lebih kurang seratus hari yang lalu, aku juga kembali. Though, perjalanan darat dari Banjarmasin ke kabupaten cukup membuat adrenalin bergerak menanjak dalam kurva pergerakannya. Bukan karena menakutkan, menyedihkan, atau begitu gembira, akan tetapi, ada satu hal lagi yang menyebabkan adrenalin itu menanjak. Marah? Sedikit berlebihan jika marah. Mungkin lebih tepatnya, emosi. Dari dulu sampai sekarang infrastruktur darat tetap pada kondisi stag. Jalan di sini diperbaiki, jalan di sana berkerikil, berlobak, bahkan menjadi kolam. We have to be shaken inside. Bayangkan, metaforakan, seperti biji-biji jagung yang sedang dalam proses menjadi pop corn. Terpelanting, terpental, dan limbung. Walaupun, tidak sampai menyebabkan tertukarnya nomor kursi antar penumpang. Itu berlebihan…

Islam menyuruh nabi untuk berhijrah. Jauh jika menyamakan, tapi, simpelnya, mari berbicara dalam konteks perpindahan tubuh fisik secara geografis. Pepatah menganjurkan, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Tidak sejauh sampai ke Cina bagiku saat ini. Based on self interpretation and experiences, bagitu banyak hikmah dari dua perintah itu. Saat-saat ketika merindukan kampung halaman ketika berada di kampung lain, begitu indahnya, yang kemudian tidak lama tercium bau asap terbakarnya hati karena kerinduan itu. Saat-saat dalam perjalanan pulang, melemparkan pandangan di sepanjang jalan, missing, contemplating, thinking about this life, about this role, about love (not about bojo lho), and about the thankfulness to the God. Mungkin inilah sedikit hikmah yang terbaca dari seabrek hikmah yang tidak dan belum terbaca dari dua perintah itu.

Tunduk pada hukum dunia, tidak ada sesuatu yang sempurna. Tidak ada sesuatu yang tetap dalam kehidupan, kecuali ketidaktetapan itu sendiri. As an emerging regency, pulauku terus tumbuh. Pulauku terlihat berbenah. To be exist lah pokoknya!! Sebuah hal yang alami dalam hidup, untuk tumbuh dan berkembang, sampai tiba saat masa hidup berakhir. How ever, seperti banyak kasus lain di Indonesia, pertumbuhan tanpa disertai dengan blue print yang cukup. Eksekusi tanpa planning yang matang. Visi yang kurang bersifat long term. Pulaku semakin semrawut. Jalan semakin sempit. Sampah semakin banyak di tempat yang tidak seharusnya. Sesuatu hijau yang bernama pohon semakin berkurang, digantikan dengan bibit-bibit rumah yang dengan subur tumbuh. Oksigen digantikan dengan bala polutan dan karbondioksida dalam jumlah masif. 

Bagaimanakah dengan nasibmu untuk waktu yang akan datang? Aku tidak akan menunggu untuk jangka waktu misal lima atau sepuluh tahun. Aku hanya akan kembali melihat pada kesempatan sekembalinyaku lagi nanti. Yah sekembalinya aku lagi nanti.