Monday, April 12, 2010

Other Autonomous Living



"Bangunlah kerajaanmu di atas tanahmu sendiri, jangan bangun kerajaanmu di tanah orang lain, karena orang lain juga
ingin membangun kerajaan mereka sendiri di tanah mereka sendiri. Hidup bukan memaksakan hebatnya kemegahan yang mampu
kita ciptakan untuk digunakan oleh orang lain, namun mempersilakan dan memuliakan orang lain di dalam kemegahan kita.
Hampir tidak pernah kata "mempersilakan" yang mencerminkan keadaan kekerasan dan keterpaksaan, ialah adanya kesalingtergantungan
tulus dalam keindahan kedamaian."

Semakin terasa hidup berubah. Semakin banyak hal yang mesti dipertimbangkan dengan matang. Semakin banyak hal yang
harus dikumpulkan untuk memberi lebih banyak. Ternyata malah seringnya, untuk mengumpulkan-untuk memberi banyak, dengan hanya
melakukan diam dan memahami orang lain, bukan sama sekali mencoba memberi dengan kumpulan yang telah sampai saat ini kita miliki.
Siapapun dia, kita tidak berhak, meski hidupnya ada karena ada hidupnya kita.

Waktu membuktikan bahwa setiap orang akan memiliki otonomi pikiran, perasaan, dan hasrat tersendiri dalam hidupnya.
Mungkin iya dulu mereka masih bergantung kepada kita dan kita secara aktif memberikan dengan penerimaan hampir selalu penuh dari
mereka, namun hidup terus berubah. Jika kita merasa lebih hebat, lebih tahu, dan lebih menguasai, yang membenarkan kita
untuk harus dituruti dan didengarkan selalu, mungkin itu hanya karena kita secara hukum alam lebih dulu. Mereka kini telah
mengalaminya juga. Jika kita merasa lebih, mungkin kenyataan saat ini yang tak tersadari oleh kita mereka malah lebih dari lebihnya
kita. Sehingga, relevansi itu akan selalu ada, namun dengan elemen, konten, nilai, atau komponen berbeda dengan waktu
yang berlaku sedang berjalan.

Pemikiran untuk menghidupkan dan berorientasi ke dan lebih ke dalam merupakan sebuah prinsip dan langkah arif untuk
menjadikan masih relevannya kita untuk di dengarkan (to be listened to) dan bukan hanya untuk didengar (to be heared to). Untuk secara dalam
dan penuh memahami, bukankah kita disyaratkan untuk tulus dan menundukkan hati terhadap sesuatu yang ingin kita mengerti?
Begitulah paradigmanya. Untuk didengarkan, kita harus mampu membuat mereka tulus dan menundukkan hati mereka untuk
mendengarkan kita. Ketulusan dan ketundukan hati tidak dapat dipaksakan, tidak lebih merupakan sebuah apresiasi dan
pengakuan penuh akan kepantasan kita untuk didengar. Dan ternyata, kepantasan itu dibangun bukan dengan memaksakan dari
dalam ke luar, namun memaksakan dari dalam ke dalam, atau dari luar ke dalam sebagai stimulus utama atau hanya penyempurna. Ketulusan
dan ketundukan hati itu datang dengan pengakuan mereka-untuk keharusan kita berempati, yang datang dan masuk ke dalam.

Selalu, carilah dan dengarkanlah yang berada di dalam secara lebih dalam, dan kumpulkanlah yang dari luar...