Wednesday, July 14, 2010

Berbagi-lah (Serahkan-lah)


 



 

"Sebenarnya, kata 'berbagi-lah' itu tidak tepat, namun' serahkan-lah' yang tepat. Karena di tiap-tiap yang kita miliki, ada sebagian yang merupakan milik mereka. Ingat lah untuk menyerahkan nya…"


 

Minggu malam, pukul delapan lebih dua puluh menit, seperti biasa aku dan beberapa saudara satu kos makan bersama, di warung makan sekitar kos. Namun, kali ini berbeda, kami berkeinginan untuk pergi ke warung makan di tempat yang agak jauh.

Aku mengendarai motor sendiri, sementara mereka berboncengan berdua. Aku menyalakan motor duluan, dan memulai mengendara dengan santai, menuju pintu gerbang gang. Sesampai di pintu dan berbelok kiri, masih dengan pengendaraan motor yang santai. Mata ku menoleh ke kiri, ke salah satu bangunan dan menemukan pemandangan yang tidak biasa. Jikalau biasanya hanya seorang bapak parkiran yang telah berumur mungkin lebih dar 50 tahun-an, saat ini ku lihat seorang ayah yang berumuran mungkin sekitar 35 tahun dan anak perempuan berjilbab dalam dekapan nya yang sedang pulas memejamkan mata, entah karena sakit atau tertidur. Ayah yang berkumis tebal tersebut terlihat seperti seorang yang tidak bersahabat, namun bagaimana sikap tubuh nya yang saat ini sedang memeluk erat sang anak dengan sepenuh-penuh nya kasih sayang dan melindungi, menggagalkan persepsi ku tersebut. Mereka di depan sebuah bangunan yang telah tutup.

Motor terus ku jalankan sambil berpikir…

'Sungguh kasihan sekali mereka, dengan pakaian yang aku bersyukur aku masih memakai yang lebih baik. Terbesit hati ku untuk melakukan nya, namun bagaimana jika beliau menolak bahkan marah? Mungkin beliau bukan tipe yang seperti itu? Tapi penampilan mereka sangat menyentuh dan mengundang hati untuk melakukan nya.'

Aku berhenti, yang membingungkan Muksin dan Jali yang juga ikut berhenti.

"Kenapa Ki, gak jadi?" mereka bertanya kepada ku.

"Emh, duluan aja, aku nyusul nanti."

"Oke."


 

Aku berbalik arah, dan memberhentikan motor di tepi jalan, mungkin sekitar 2,5 meter di depan mereka. Aku mengeluarkan selembar rupiah berwarna hijau.

"Sakit ya Pak anak nya?"

"Beubou…"

Aku menangkap kata 'bobo'.

"Beubou…" beliau mengucapkan nya kembali.

"Oh tidur ya Pak. Ini ya Pak ya…"

Beliau sesegera mungkin 'menyambar' tanganku untuk mengambil yang ingin kuberikan kepada beliau dan mengucapkan kata 'maturnuwun' berkali-kali. Suara beliau tidak jelas, seperti memiliki kekurangan dalam hal berbicara. Aku tidak tahu bawaan lahir yang bagaimana ini. Namun, beliau berucap dengan susah payah sekali, sementara sang anak tertidur pulas dengan balutan sarung batik kuning yang telah lusuh dan menggunakan jilbab berwarna merah muda yang menggradasi menjadi putih kusam.

"Mari Pak ya…"

Aku menyadari gerakan tubuh ku mengurangi rasa ku kepada diri sendiri.

Aku melanjutkan perjalanan ku menuju warung makan yang saudara-saudara ku telah lebih dulu pergi. Sungguh hati ku sangat tersentuh dan dengan banyak pertanyaan di kepala. 'Kemana istri beliau?' 'Beliau dari mana dan mau kemana?' 'Apakah sudah makan?' 'Apakah tidak memiliki uang untuk transportasi?' 'Apakah beliau selalu bersedih dalam hidup nya dengan kondisi seperti itu, atau bahkan tidak pernah dikarenakan kebesaran jiwa beliau dan keberserahan kepada Sang Pencipta?' 'Dimana rumah beliau?' 'Apakah beliau berhenti dan duduk di situ hanya karena sang putri yang tertidur, untuk tidak mengganggu tidur nya?' 'Apakah beliau sudah makan?' 'Apakah beliau sudah makan?' 'Apakah beliau sudah makan?'

Sungguh mengharukan. Aku mengharapkan untuk airmata ku jatuh saat ini. Ini sama sekali bukan tentang kecengengan, bukan! Aku ingin merayakan kebesaran Engkau ya Tuhan dan kebesaran mereka. Aku merasakan ada begitu banyak malaikat yang hadir di situ. Tatapan sayang dan haru dari nabi-nabi di surga sana. Orkestra dan simfoni alam yang mengalahkan bisingnya hiruk pikuk motor dan mobil yang melintas. Tuhan, sungguh besar saat ini. Sungguh hebat kehidupan ini. Aku ingin menangis Tuhan. Aku merasa kasihan yang teramat dengan mereka.

Di satu ruang di kepala ku terucap serapah-serapah yang menyampahkan.

'Seharusnya malu pemimpin yang tidak amanah itu dengan contoh keadaan ini yang begitu banyak jumlah nya di negeri ini.' 'Seharusnya para koruptor tersentuh dan tersadar betapa biadab nya mereka dengan melakukan korupsi!' 'Engkau negara, kenapa begitu lemah? Apakah karena sudah terlalu banyak anak-anak mu yang tidak amanah dan melakukan korupsi sehingga hanya berdiam, meringis, dan menangis? Aku ingin mengatakan engkau, aku, dan semua orang yang ada dan dilahirkan di negeri ini seharusnya malu dengan keadaan ini. Ini bukan miskin nya harta kita, namun miskin nya perilaku kita!'

Aku malu dengan diri ku.

Aku merasa kurang sementara juga merasa sangat lebih.

Aku mengakui, ketika kebaikan dilakukan dengan ketulusan itu, tak pernah ada kata cukup, bahkan memuaskan.

"Tuhan perbanyaklah pemimpin yang amanah. Berikanlah kewenangan-kewenangan dan kemampuan-kemampuan besar kepada pemimpin-pemimpin masa depan untuk bisa menjamin dan memastikan pemuliaan dan pengasih-sayangan kepada hamba-hamba Mu yang seharusnya berhak itu ya Tuhan…"

Friday, July 9, 2010

Santunlah



“Bukan karena tidak berdaya-nya kita untuk menyetarai bahkan mengungguli kekasaran atau ketidaksopanan yang dilakukan oleh orang lain kepada kita yang membatalkan penghormatan kita kepada orang lain, bukan. Namun hanya sebuah wujud penghormatan kita kepada diri agar merasa pantas terlibat dalam pergaulan-pergaulan yang santun nan membesarkan dalam dekapan keceriaan dan kedamaian.”


Aku duduk di kursi kecil di depan toko buku ini. Menunggu sang pedagang yang kami telah saling akrab karena sudah beberapa kali aku membeli buku di sini yang sedang berniaga melayani pembeli lain. Beliau dibantu beberapa, mungkin kolega atau karyawan beliau, dalam melayani pembeli, namun tetap masih sangat sibuk. Tentu saja ini kan musim liburan, saat dimana masa panen para pedagang buku.
Aku memperhatikan dua anak yang membujuk ibunya untuk membeli buku tambahan bagi mereka, namun sang ibu balik membujuknya untuk merasa cukup dengan buku yang telah dipilih mereka sebelumnya. Selain faktor kerangka berpikir, keuangan selalu menjadi ujian yang selalu ada dalam membeli buku bagi banyak orang. Kita bangsa yang terlalu sering memiliki hubungan langgeng dengan keterbatasan sumber daya ekonomi dalam keseharian, bahkan untuk perihal yang esensial dan vital dalam hidup: makan, kesehatan, dan pendidikan. Apalagi, jauh harapan dengan rekreasi. Semoga cepat berakhir. Selalu, untuk harus bersyukur.
Mungkin sudah seharusnya jika pemerintah mereduksi atau meniadakan subsidi untuk bahan bakar, dana subsidi tersebut dialihkan menjadi subsidi buku. Sehingga, jika masyarakat berpikir dua kali untuk bepergian ke tempat yang kurang penting relatif terhadap pertimbangan mahalnya kos bahan bakar, mereka lebih memilih bepergian secara mental dan pikiran ke tempat-tempat di seluruh dunia melalui buku, lebih jauh, bahkan bisa melintasi waktu ke masa lalu.
Nasihat mengatakan,” bacalah buku setidaknya satu jam sehari, maka Anda akan bijaksana”. Tentu juga lebih berwawasan dan cerdas bukan? Bagaimana kita bisa menyangkal nantinya jika negara ini, rakyatnya memiliki budaya baru-yang terlihat dimana-mana,-yaitu budaya baca, akan menjadi bangsa besar? Bukankah bangsa yang besar ialah bangsa pembaca? Mungkin 20 tahun lagi Indonesia completely sebuah bangsa yang besar,  yang mampu mengatakan bahwa ada yang lebih penting daripada korupsi jika budaya baru ini benar-benar membudaya.
Akhirnya sang ibu merestui. Sang penjual memasukkannya ke dalam hitungan.
Sementara itu, penjual buku tersebut juga sedang sibuk mengecek dan menyusun untuk dibungkus, buku-buku yang dibeli oleh seorang laki-laki yang penampilannya agak berbeda dari keseluruhan pembeli di pasar buku Shopping ini, saat ini. Buku-buku tersebut semuanya bertemakan sejarah. Wow!!! Sang pembeli yang kurang dari satu meter berdiri di depan aku yang sedang duduk ini, yang berpakaian kemeja batik, wajah Chinese, celana kargo, dan tas pinggang dengan botol minuman agak besar menggantung, memeriksa dengan cermat apakah daftar buku pada kertas di tangan kanannya sudah hadir semua. I’m sure he is a smart and great guy.

“Bapak dosen ya Pak?” aku bertanya dengan santai sambil duduk dan mendongak melihat beliau yang berdiri.

“Bukan, saya kerja di Amerika” dengan santai beliau menjawab dengan pesona kerendahan hatinya, dengan bahasa Indonesia agak kaku. Beliau balik bertanya, “Anda mahasiswa?”

“Iya Pak. Bapak kok bisa kerja di Amerika dan saya mengira dosen sejarah?” aku menjawab dan bertanya lagi, sambil berdiri setelah kaget dengan jawaban beliau. Padahal sebelumnya aku menebak mungkin beliau dari Sumatra. I was totally wrong about him.

“Saya kerja di perusahaan informatika. Jurusan apa?

“Akuntansi Pak”.

“Owh, mudah cari kerja ya” sambil tersenyum beliau.

“Mudah-mudahan Pak. Oh iya Pak, saya Fakhri” sambil menawarkan jabat tangan.
Beliau menyebutkan nama beliau sambil menjabat tanganku. Aku tak bisa menangkap nama beliau yang agak samar beliau sebutkan. Namun beliau merogoh tas pinggang, kemudian menemukan kartu nama beliau.

“ini kartu nama saya”.
What? What a kind person he is, right? Beliau membuatku merasa terhormat.
Rasa hormat yang seseorang berikan bukan secara utama karena layaknya orang lain dihormati olehnya, melainkan hanya sebuah refleksi betapa seseorang tersebut merasa positif dan hormat kepada dirinya sendiri. 
Aku membaca kartu nama beliau yang berwarna putih dengan hanya ada tulisan nama, alamat, data kontak, dan jabatan beliau, dengan hanya berhias satu persegi berwarna coklat yang berluas 0,25 cm2 posisi paling atas tengah, tanpa gelar dan perusahaan dimana beliau bekerja. Mungkin ini American-styled card name. Bukan nama Indonesia, bernama Chinese dengan garis miring nama, I don’t know, mungkin American+France. Di bawah nama tertulis ‘Director/Producer’. 
Kartu nama itu sendiri bukan hanya melambangkan penghormatan kepadaku, namun juga sebuah bahasa yang mengatakan bahwa sang pemilik seseorang yang terbuka untuk memberikan bantuan. I'm not a businessman yet.
Beliau segera pergi setelah sang penjual buku membungkus rapi buku-buku beliau dan kami bercakap-cakap. Informasi kemudian yang aku dapatkan ialah beliau seorang MBA yang dulunya mendapatkan beasiswa dari sebuah korporasi teknologi komputer. Maybe, he is a Phd juga.
A question comes to my mind, kenapa orang “wow” selalu tidak banyak bicara dan rendah hati? Kecerdasan dan kebesaran mereka tampak dari wajah yang tak seorang dapat mengingkarinya. Sekali lagi, rahmat ilmu meninggikan derajat pemiliknya.
I started a conversation with easy-going attitude which then had to be amended to make politer myself. Life’s miracle teaches me again to live.