Friday, July 9, 2010

Santunlah



“Bukan karena tidak berdaya-nya kita untuk menyetarai bahkan mengungguli kekasaran atau ketidaksopanan yang dilakukan oleh orang lain kepada kita yang membatalkan penghormatan kita kepada orang lain, bukan. Namun hanya sebuah wujud penghormatan kita kepada diri agar merasa pantas terlibat dalam pergaulan-pergaulan yang santun nan membesarkan dalam dekapan keceriaan dan kedamaian.”


Aku duduk di kursi kecil di depan toko buku ini. Menunggu sang pedagang yang kami telah saling akrab karena sudah beberapa kali aku membeli buku di sini yang sedang berniaga melayani pembeli lain. Beliau dibantu beberapa, mungkin kolega atau karyawan beliau, dalam melayani pembeli, namun tetap masih sangat sibuk. Tentu saja ini kan musim liburan, saat dimana masa panen para pedagang buku.
Aku memperhatikan dua anak yang membujuk ibunya untuk membeli buku tambahan bagi mereka, namun sang ibu balik membujuknya untuk merasa cukup dengan buku yang telah dipilih mereka sebelumnya. Selain faktor kerangka berpikir, keuangan selalu menjadi ujian yang selalu ada dalam membeli buku bagi banyak orang. Kita bangsa yang terlalu sering memiliki hubungan langgeng dengan keterbatasan sumber daya ekonomi dalam keseharian, bahkan untuk perihal yang esensial dan vital dalam hidup: makan, kesehatan, dan pendidikan. Apalagi, jauh harapan dengan rekreasi. Semoga cepat berakhir. Selalu, untuk harus bersyukur.
Mungkin sudah seharusnya jika pemerintah mereduksi atau meniadakan subsidi untuk bahan bakar, dana subsidi tersebut dialihkan menjadi subsidi buku. Sehingga, jika masyarakat berpikir dua kali untuk bepergian ke tempat yang kurang penting relatif terhadap pertimbangan mahalnya kos bahan bakar, mereka lebih memilih bepergian secara mental dan pikiran ke tempat-tempat di seluruh dunia melalui buku, lebih jauh, bahkan bisa melintasi waktu ke masa lalu.
Nasihat mengatakan,” bacalah buku setidaknya satu jam sehari, maka Anda akan bijaksana”. Tentu juga lebih berwawasan dan cerdas bukan? Bagaimana kita bisa menyangkal nantinya jika negara ini, rakyatnya memiliki budaya baru-yang terlihat dimana-mana,-yaitu budaya baca, akan menjadi bangsa besar? Bukankah bangsa yang besar ialah bangsa pembaca? Mungkin 20 tahun lagi Indonesia completely sebuah bangsa yang besar,  yang mampu mengatakan bahwa ada yang lebih penting daripada korupsi jika budaya baru ini benar-benar membudaya.
Akhirnya sang ibu merestui. Sang penjual memasukkannya ke dalam hitungan.
Sementara itu, penjual buku tersebut juga sedang sibuk mengecek dan menyusun untuk dibungkus, buku-buku yang dibeli oleh seorang laki-laki yang penampilannya agak berbeda dari keseluruhan pembeli di pasar buku Shopping ini, saat ini. Buku-buku tersebut semuanya bertemakan sejarah. Wow!!! Sang pembeli yang kurang dari satu meter berdiri di depan aku yang sedang duduk ini, yang berpakaian kemeja batik, wajah Chinese, celana kargo, dan tas pinggang dengan botol minuman agak besar menggantung, memeriksa dengan cermat apakah daftar buku pada kertas di tangan kanannya sudah hadir semua. I’m sure he is a smart and great guy.

“Bapak dosen ya Pak?” aku bertanya dengan santai sambil duduk dan mendongak melihat beliau yang berdiri.

“Bukan, saya kerja di Amerika” dengan santai beliau menjawab dengan pesona kerendahan hatinya, dengan bahasa Indonesia agak kaku. Beliau balik bertanya, “Anda mahasiswa?”

“Iya Pak. Bapak kok bisa kerja di Amerika dan saya mengira dosen sejarah?” aku menjawab dan bertanya lagi, sambil berdiri setelah kaget dengan jawaban beliau. Padahal sebelumnya aku menebak mungkin beliau dari Sumatra. I was totally wrong about him.

“Saya kerja di perusahaan informatika. Jurusan apa?

“Akuntansi Pak”.

“Owh, mudah cari kerja ya” sambil tersenyum beliau.

“Mudah-mudahan Pak. Oh iya Pak, saya Fakhri” sambil menawarkan jabat tangan.
Beliau menyebutkan nama beliau sambil menjabat tanganku. Aku tak bisa menangkap nama beliau yang agak samar beliau sebutkan. Namun beliau merogoh tas pinggang, kemudian menemukan kartu nama beliau.

“ini kartu nama saya”.
What? What a kind person he is, right? Beliau membuatku merasa terhormat.
Rasa hormat yang seseorang berikan bukan secara utama karena layaknya orang lain dihormati olehnya, melainkan hanya sebuah refleksi betapa seseorang tersebut merasa positif dan hormat kepada dirinya sendiri. 
Aku membaca kartu nama beliau yang berwarna putih dengan hanya ada tulisan nama, alamat, data kontak, dan jabatan beliau, dengan hanya berhias satu persegi berwarna coklat yang berluas 0,25 cm2 posisi paling atas tengah, tanpa gelar dan perusahaan dimana beliau bekerja. Mungkin ini American-styled card name. Bukan nama Indonesia, bernama Chinese dengan garis miring nama, I don’t know, mungkin American+France. Di bawah nama tertulis ‘Director/Producer’. 
Kartu nama itu sendiri bukan hanya melambangkan penghormatan kepadaku, namun juga sebuah bahasa yang mengatakan bahwa sang pemilik seseorang yang terbuka untuk memberikan bantuan. I'm not a businessman yet.
Beliau segera pergi setelah sang penjual buku membungkus rapi buku-buku beliau dan kami bercakap-cakap. Informasi kemudian yang aku dapatkan ialah beliau seorang MBA yang dulunya mendapatkan beasiswa dari sebuah korporasi teknologi komputer. Maybe, he is a Phd juga.
A question comes to my mind, kenapa orang “wow” selalu tidak banyak bicara dan rendah hati? Kecerdasan dan kebesaran mereka tampak dari wajah yang tak seorang dapat mengingkarinya. Sekali lagi, rahmat ilmu meninggikan derajat pemiliknya.
I started a conversation with easy-going attitude which then had to be amended to make politer myself. Life’s miracle teaches me again to live.


No comments:

Post a Comment