Friday, May 30, 2008

BODOH ATAU SEBUAH KONSPIRASI BESAR??

BODOH ATAU SEBUAH KONSPIRASI BESAR

Ada yang membuat saya terkejut ketika membaca lampiran ke-6 pada buku “Selamatkan Indonesia!” karya Pak Amien Rais. Sebenarnya hampir semua lembar dalam buku ini membuat saya terkejut, antusias, kecewa, sedih, pesimis, dst. Sehingga membaca buku ini, saya seperti berjalan di labirin yang penuh misteri dalam sebuah puri besar bernama Indonesia. Lembar per lembar saya baca, maka semakin dalam perjalanan saya di labirin misteri yang sebelumnya tidak saya ketahui, dan sedikit demi sedikit saya menemukan jawaban misteri-misteri tersebut.

Adapun lampiran tersebut berjudul “Cost Recovery PT Pertamina EP”, ditulis oleh Pak Marwoto Mitrohardjono, legislator pusat dari fraksi PAN yang duduk di panitia anggaran. Dari judulnya bisa ditebak mengenai uang/finansial dan PT Pertamina EP, anak perusahaan dari PT Pertamina, BUMN yang paling tenar dari dulu sampai nanti, sampai urusan migas kembali menjadi sumber pendapatan dan bukan pengeluaran yang utama bagi APBN di negeri ini. Di bawah ini merupakan uraian yang ditulis oleh beliau tetapi menggunakan bahasa saya sendiri plus sudut pandang pribadi.

Cost Recovery di atas ialah terkait dengan depresiasi aset-aset PT Pertamina. Ada apa dengan depresiasi aset? PT Pertamina mengajukan pembebanan (minta uang) atas depresiasi aset-aset mereka yang bersumber dari APBN untuk tahun 2008 sebesar US$ 333 juta. Periode aset-aset tersebut ialah untuk tahun 2004 s.d. 2008. Untuk tahun 2004 s.d. 2007 sudah direalisasikan pembayarannya. Jumlahnya sebesar US$ 2,327 juta. Sehingga jumlah dari tahun 2004 s.d. 2008 jika dikonversikan ke rupiah sebesar Rp 21,85 triliun.

Kejanggalan

Kejanggalan kasus di atas ialah terkait pengeluaran kas untuk biaya depresiasi. Sebagaimana dipelajari dan diketahui oleh para individu yang pernah mempelajari akuntansi: yang bersumber dari GAAP (di Indonesia bernama SAK), biaya depresiasi bukanlah biaya (expense) yang secara fisik uang keluar dari perusahaan pada masing-masing periode, tetapi hanya merupakan alokasi kos (cost allocation) atau pembebanan sebagai biaya untuk di-match-kan dengan pendapatan pada masing-masing periode dalam penghitungan laba perusahaan, dikarenakan periode-periode itu menikmati manfaat dari aset-aset yang dipergunakan dalam operasi perusahaan.

Perlakuan jurnalnya-pun berarti berbeda. Seharusnya debet pada Depresiasi dan kredit pada Cadangan Depresiasi/ Akumulasi Depresiasi. Akan tetapi didebet pada Depresiasi dan dikredit pada Kas/APBN. Artinya, penilaian terhadap aktiva PT Pertamina untuk tahun 2004 s.d. 2007 lebih besar dari yang seharusnya (overstated). Konsekuensinya APBN harus mengganti sebesar biaya tersebut pada masing-masing periode, dari tahun 2004 s.d. 2007.

Beliau juga memaparkan sebuah analogi menarik untuk mempermudah pemahaman terhadap kasus tersebut, yaitu:

“Kita mempunyai mobil yang kita operasikan sebagai taksi, untuk itu kita membuat kontrak karya dengan sopir sebagai operatornya. Sopir mendapat keuntungan berupa hasil di atas setoran kepada kita, lantas di luar penghasilan itu kita masih memberi cost recovery secara tunai kepada sopir yang notabene bukan pemilik mobil. Cost recovery mobil dimaksud adalah berupa cadangan depresiasi mobil melalui depresiasi setiap tahunnya sebagai pengganti karena mobil kita semakin usang, semakin menurun nilainya, semakin menurun potensinya. Masalahnya, si sopir penerima cost recovery secara tunai, apakah memangnya si sopir yang akan melakukan replacement atas mobil kita? Jawabannya pasti tidak.”

Ironis memang. Perusahaan besar (apalagi BUMN) melakukan kesalahan dalam perlakuan akuntansi. Apakah audit telah dilaksanakan secara benar menurut standar pengauditan? Ataukah pengauditan itu sendiri tidak pernah dilakukan?

Bayangkan jika uang sebesar Rp 21,85 triliun dialokasikan ke sektor pendidikan untuk proyek pengadaan komputer di tiap-tiap sekolah seluruh Indonesia. Harga komputer ditaksir sebesar Rp 3,5 juta. Maka:

Rp 21. 850.000.000.000,-/ Rp 3.500.000,- = 6.242.857 unit komputer. Jika jumlah sekolah SMP/MTs dan SMA/SMK/MA di seluruh Indonesia berjumlah 132.874 unit (sumber dari situs Jardiknas untuk sekolah yang telah terdaftar). Maka setiap sekolah tingkat SMP dan SMA akan memiliki komputer sebanyak 46 unit (6.242.857 dibagi 132.874).

Hasil akhirnya siswa-siswi di seluruh Indonesia sudah bisa mengoperasikan komputer atau setidaknya melek komputer, dan tidak ada yang namanya gaptek. Kemudian jika dipergunakan untuk proyek komputerisasi birokrasi/perizinan, tentunya akan mereduksi korupsi dan lama perizinan di Indonesia.

Kita mungkin bertanya apakah hal ini terjadi karena kekhilafan atau ketidakmengertian dalam akuntansi? Ataukah sebuah konspirasi besar antara sebagian orang dalam pemerintahan dan sebagian orang dalam BUMN tersebut? Mungkinkah seperti kasus Enron di Amerika terkait fraudulent dalam akuntansi juga terjadi di tubuh Pertamina?

Setidaknya kita bersyukur Pak Marwoto Mitrohardjono setelah/baru dua bulan duduk di panggar DPR RI telah menemukan dan mempersoalkan kasus tersebut. Walaupun untuk tahun 2004 s.d. 2007 kas APBN sudah bocor dan dalam proses untuk ditarik kembali, akan tetapi setidaknya di tahun 2008 kebocoran itu tidak terjadi.

Sekarang saya bertanya, apakah Anda tidak terkejut, antusias, kecewa, sedih, pesimis, dst berjalan di labirin dalam puri besar yang bernama Indonesia? Bagaimana dengan BUMN-BUMN lain? Bagaimana dengan kontrak-kontrak dengan perusahaan asing? Jika pada Pertamina di dalamnya notabene para pribumi, bagaimana dengan perusahaan-perusahaan asing? Berapa triliun lagi Indonesia dirugikan?

Wednesday, May 28, 2008

Ahistoris dan Kontraproduktif!, Sangat Disesalkan...

Lagi-lagi anomali ritual dalam demonstrasi terjadi. Hal ini ditayangkan oleh salah satu stasiun tv swasta pada tanggal 27 Mei 2008 pukul 06.05 wib. Kali ini benar-benar bodoh, kurang ajar, dan tidak tahu diri.


Aksi menentang kenaikan BBM dengan penurunan Bendera Merah Putih Kantor Bupati di Minahasa yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat yang bernama GEBRAK, Gerakan Bela Rakyat, sungguh sangat tidak bisa saya terima. Tidak hanya itu, Merah Putih pun sampai jatuh ke tanah. Lebih tidak bisa saya terima.


Saya merasa heran dan saya harus menghakimi secara pribadi dengan kalimat kedua pada paragraph pertama di tulisan saya ini. Keheranan saya, apa relevansi kenaikan BBM dengan penurunan bendera, dan kemudian terjatuh ke atas tanah? Bukankah sebuah penghinaan secara langsung oleh bangsa sendiri? Oleh segelintir masyarakat yang tidak tahu diri. Yang benar-benar melupakan jasa-jasa para pahlawannya. Lagi-lagi terjadi paradoksal dan kontradiktif dengan sebuah kata pepatah, “bahwa bangsa yang besar ialah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya”.


Apakah mereka lupa dengan jumlah yang tidak terkira atas nyawa yang harus melayang hanya untuk mengibarkan Bendera yang mulia itu. Sekali lagi, Sang Saka Merah Putih yang mulia. Tidakkah mereka ingat bagaimana kerja keras para atlet hanya untuk Sang Saka tersebut dikibarkan di luar negeri.


Pada saat itu sebenarnya juga ada beberapa aparat dari polisi pamong praja. Dan seharusnya mereka bertindak untuk melarang hal tersebut dilakukan. Walaupun kemudian aparat ini yang mengambil dan melipat bendera tersebut. Satu hal yang harus diingat, tidak pernah ada kata takut untuk bela dan kehormatan negara!!!


Mudah-mudahan mereka sadar akan ketidakwarasan itu. Dan jangan pernah ada hal seperti itu terjadi lagi. Dengan kata lain, bangsa Indonesia harus tahu diri dengan segala sikap dan perbuatannya!!!


Demonstrasi haruslah demonstrasi yang elegan. Demonstrasi seharusnya tidak bersifat ahistoris. Dan demonstrasi tidak boleh kontraproduktif terhadap pembangunan negara secara fisik dan pembangunan mental bangsa.


Tidak pernahkah terpikir oleh para demonstran bahwa di lokasi demontrasi dan di rumah-rumah, para generasi umur belasan dan baru menginjak umur remaja melihat aksi-aksi mereka, dalam hal ini kita bicara anarkisme yang sedang terjadi dalam demonstrasi. Itukah yang akan ditiru oleh generasi itu nantinya?


Bom Molotov dan pembakaran ban di tengah jalan seolah mengalami justifikasi perilaku dan memungkinkan menjadi sebuah budaya atau habit bangsa Indonesia dalam berdemonstrasi. Lebih jauh, ditemukannya ganja dan minuman keras dalam demonstrasi mahasiswa, mungkinkah juga akan mengalami justifikasi itu?


Sebuah peryataan yang harus selalu diingat dan diwaspadai oleh bangsa Indonesia dari Sukarno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, sebaliknya perjuanganmu akan lebih susah karena melawan bangsamu sendiri”. Artinya bangsa Indonesia harus sadar bahwa hambatan dan musuh utama dalam mencapai cita-cita kemerdekaan tidak lain ialah diri sendiri. Kita sendirilah yang menyebabkan kemerosotan ini. Jikapun kita diolok-olok, dijajah, serta kekayaan kita dirampas oleh bangsa lain, itu semua dikarenakan kita lemah dan ketidakmampuan kita dalam melawan diri sendiri. Tidak mampu menahan nafsu untuk melakukan perilaku/perbuatan yang kontraproduktif terhadap kemajuan Indonesia. Mungkin kasus di atas bisa dijadikan contohnya.

Monday, May 26, 2008

Cinta Negara kah??

Seolah tenggelam dalam kelamnya samudera sejarah. Terkesima dengan segala usaha para pahlawanku. Keingintahuan dalam benak seolah mengetuk keras pada sebuah pintu kamar dalam otakku, kamar wawasan sejarah bangsaku. Setelah pintu itu terbuka dengan sendirinya, ternyata yang kutemukan hanya beberapa tumpukan pengetahuan, itupun sudah lusuh. Entah mengapa, semasa sekolah mata pelajaran sejarah bukan favoritku.


Alunan suara ini seolah menenggelamkanku lagi, lebih ke dalam. Namun, sangat aneh, bukannya kesusahan bernapas yang kurasakan, tetapi indahnya kehidupan di dalam samudera ini. Mungkin gelombang-gelombangnya tercipta dari riak-riak keikhlasan segenap elemen bangsa. Lagu-lagu waib ini benar-benar menyentuh rasa nasionalisme.

Pada saat ini juga, ku mencoba menengadahkan pandangan. Nun jauh di sana kulihat cakrawala pengetahuan guruku. Betapa luasnya ruang di atas sana. Kuluruskan pandangan ke depan. Di ujung sana kulihat horizon. Aku langsung bergegas berlari untuk menemukannya, berharap bisa menyentuhnya.

Setelah berlari jauh. Sia-sia kawan, jika ku mampu melihatnya dari jauh, bukan berarti ku bisa menemukannya, apalagi menyentuhnya. Titik temu antara cakrawala pengetahuan guruku dengan daratan pengetahuanku itu tidak ada. Fatamorgana, semu belaka. Membaca dan mencoba memahami tulisan bernada patriotik dari seorang nasionalis ini, yaitu guruku, membuatku mengembara melakukan hal-hal dalam gambaran di atas.

Lagu-lagu yang tercipta oleh tokoh-tokoh bangsa pada zaman dulu dan tulisan patriotik dari guruku ini merupakan sebuah refleksi atau manifestasi dari kecintaan anak-anak bangsa terhadap bangsa dan negaranya. Kemudian, di luar sana, betapa banyak anak-anak bangsa yang sedang melakukan demonstrasi terhadap kenaikan bahan bakar minyak, juga atas nama cinta bangsa dan negara.


Jika saya berfikir bahwa kita harus bersikap ikhlas untuk menerima kenaikan BBM itu dengan dalih agar negara ini tidak mengalami defisit APBN, apakah sikap ikhlas itu juga sebuah refleksi atau manifestasi rasa cinta bangsa dan negara tersebut?

Tuesday, May 20, 2008

DEMONSTRASI MAHASISWA

DEMONSTRASI MAHASISWA

(Dilihat Dari Cermin Ajaib)


Pada saat saya mulai menulis tulisan ini, waktu menunjukkan pukul 00.07. Saya menulisnya ketika saya menyaksikan newscast di Metro TV. Lagi-lagi untuk kesekiankalinya dan di lokasi lainnya terjadi kericuhan frontal antara oknum mahasiswa versus oknum kepolisian. Lempar-lemparan, kejar-kejaran. Sengaja saya menyebutkan oknum: yang artinya orang atau anasir; karena tidak semua anasir/individu dari dua kelompok terlibat di dalam kericuhan tersebut. Artinya, di kedua belah pihak masih ada individu-individu yang mencoba menghentikannya.

Seperti yang sebelum-sebelumnya, kericuhan tidak lain disebabkan oleh demonstrasi mahasiswa untuk menolak kenaikan BBM. Mahasiswa sebagai pihak yang berperan sebagai inspirator dan atau mediator aspirasi-aspirasi rakyat kepada pemerintah mencoba melaksanakan tugas mulia yang diembannya tersebut. Tugas mulia yang ditujukan untuk rakyat, bangsa, dan Negara. Sebaliknya, kepolisian sebagai pihak yang berperan sebagai penjaga keamanan, ketertiban, ketentraman, dan ke-an-ke-an lainnya, juga harus melaksanakan tugasnya. Sama dengan mahasiswa; untuk rakyat, bangsa, dan negara. Sama-sama mulia.

Tayangan kericuhan (kekerasan) dalam demonstrasi yang ditampilkan oleh setiap stasiun tv akan hal tersebut membuat para pemirsa; rakyat Indonesia; merasa miris, sedih, senang, terprovokasi,geram, dst. Semuanya tergantung opini, latar belakang, dan pretensi masing-masing. Ada yang setuju dengan dalih: itulah yang seharusnya dilakukan. Miris; dengan kondisi bangsa sekarang. Atau yang terprovokasi untuk melakukan hal yang sama.

Tidak bisa dipungkiri, kenaikan BBM memang menyulitkan masyarakat. Tidak hanya naiknya harga BBM tersebut, tetapi juga akan menstimulasi naiknya harga-harga kebutuhan hidup lain, secara cepat dan pasti. Bahkan kenaikan BBM tersebut belum terealisasi, harga-harga sembako dan kebutuhan lainnya sudah melonjak naik lebih dulu. Seolah-olah pertanyaan usil mengenai telur dan ayam mana yang tercipta lebih dulu bisa diibaratkan dalam hal ini.

Kenapa kericuhan tersebut bisa terjadi? Apakah kita harus menanyakannya kepada dua kubu tersebut secara langsung? Dipastikan tidak akan ada jawaban yang adil dan mengenai sampai ke serabut akar masalah. Kedua kubu akan saling menyalahkan: akan saling merasa benar.

Bagi saya pribadi, saya akan menjadi golongan yang merasa miris dan sedih akan kasus di atas. Jika ada kuisioner yang diselenggarakan oleh LSM/NGO yang mungkin bernama Peduli Bangsa Anti Kekerasan untuk mengetahui opini masyarakat akan kericuhan (kekerasan) dalam demonstrasi itu, maka saya akan menjadi pemilih yang akan mencoblos atau memberi tanda tick mark pada option paper, ikon wajah muram dan mungkin ada tetesan air matanya. Ironis, mahasiswa sebagai civitas akademika yang sehari-hari dijejali teori-teori positif dan anti kekerasan, kok prakteknya bertindak sebaliknya, berada dalam ruang paradoksal. Begitupun bagi polisi-polisi; yang telah ditanamkan dalam benak mereka bahwa polisi sebagai mitra dan melindungi masyarakat; ternyata juga “tidak sengaja” terlibat pada kericuhan itu. Bukankah mahasiswa salah satu elemen/anasir dari masyarakat itu sendiri.


Rangkaian Acara Utama Demonstrasi Lainnya

Kasus-kasus selanjutnya (bisa dikatakan unjustifiable) yang seakan-akan telah membudaya dilakukan oleh para mahasiswa tertentu (untuk tidak mengatakan kesuluruhan) dalam rangkaian demonstrasi mereka tersebut ialah pengrusakan infrastruktur pemerintah , penutupan jalan, penyegelan SPBU, dan pencegatan truk tangki BBM Pertamina jika sampai ada yang melintas. Anak-anak sekolah dasar-pun akan bertanya, salah apa dengan benda-benda mati tersebut? Apa mereka manggut dan setuju dengan kenaikan BBM itu? Apa truk tangki akan berdansa jika terjadi kenaikan BBM? Jawabannya tentu tidak. Mereka juga dioperasikan, digunakan, dan diperlukan oleh manusia. Dan hampir keseluruhan benda mati tersebut (infrastruktur pemerintah, truk tangki Pertamina, dan jalan-jalan) dibiayai dari anggaran negara, artinya milik rakyat juga. Nah, kok dirusak??? Walaupun kadang akhirnya mereka sadar sendiri, dengan alasan yang memang seharusnya.

Alangkah indahnya jika demonstrasi tersebut dilaksanakan dengan tentram, elegan, arif, dan berjalan dalam koridor kesopanan. Sebagai bangsa yang mengaku berbudaya dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, kiranya tidak sepatutnya hal itu terjadi. Apakah kita sebagai mahasiswa tidak malu jika rangkaian acara anomali dalam demonstrasi yang kita lakukan ditonton oleh para intelektual atau pihak-pihak yang benar-benar mendedikasikan dirinya untuk kemajuan bangsa tapi tidak melakukan kekerasan, sehingga kesannya kita sok pintar. Kepada penonton orang tua, sehingga kesannya kita sebagai yang muda tidak menghormati mereka dengan perilaku menyedihkan dan meresahkan mereka. Atau kepada anak sekolah di bawah kita, sehingga kesannya kita tidak malu mempertontonkan ketidakdewasaan dan ketidak-integritas-an kita sendiri.

Jika kasus di atas dianalogikan sebagai seorang putri yang bernama Bawang Merah yang menanyakan kecantikan dirinya kepada cermin ajaib, padahal cermin ajaib itu tidak pernah berkata bohong, bisa melihat ke dalam diri putri itu, melihat tabiat dan inner beauty seseorang, dan menilai seseorang putri berdasarkan tabiat dan inner beauty-nya Akankah cermin itu berbohong atau berkata sejujurnya…???

Jauh dari niat-niat tertentu, saya hanya menghirup segarnya udara alam kebebasan bersuara/berpendapat di Indonesia tercinta ini.

Sunday, May 18, 2008

Runner Up, Bangga Dong…!!! (Dari Badminton Menuju Lahirnya Kebangkitan Nasional)


Runner Up, Bangga Dong…!!!

(Dari Badminton Menuju Lahirnya Kebangkitan Nasional)


Akhirnya perjuangan itu terjawab sudah. Indonesia sampai saat ini masih harus mangakui keunggulan Cina pada tim Uber mereka. Mereka masih cukup tangguh. Status peringkat pemain teratas yang mereka sandang dari IBF bukan sesuatu kekeliruan. They have prove it.


Hasil 3-0 kemenangan mereka atas Tim Uber Indonesia lagi-lagi mengukuhkan bahwa merekalah jawara Uber dunia. Kemenangan ini juga menorehkan sejarah kepada mereka untuk memegang piala Uber enam kali berturut-turut dari tahun 1988, tentunya catatan kemenangan-kemenangan sebelum tahun 1998 juga harus diingat. Dan ternyata, hegemoni itu masih di tangan Cina.


Dari segi teknis permainan, Tim Uber Indonesia sebenarnya telah memperlihatkan permainan yang sangat indah, super indah, excellent. Seakan-akan sebuah kata “menyerah” telah dibenamkan ke dasar bumi yang paling dalam. Sehingga terbakar melepuh oleh panas bumi. Merah Putih itu masih berkibar Burung Garuda itu masih berdiri gagah perkasa menatap tajam rivalnya.


Medali perak yang dikalungkan oleh Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono kepada Firdasari dkk, setidaknya sebuah bukti bahwa Indonesia berusaha. Diukur dari target yang telah ditetapkan sebelumnya, Tim Uber Indonesia bisa dikatakan telah sukses. Indonesia yang hanya menargetkan berjuang sampai semifinal ternyata mampu melangkah lebih jauh sampai ke final.


Pada perhelatan besar ini, acara besar bulu tangkis dunia, terlihat antusiasme dan animo masyarakat, baik menonton langsung ke Istora atau hanya di depan televise masing-masing. Dipastikan adanya harapan kemenangan dari semua anak ibu pertiwi bagi Tim Uber Indonesia. Seluruh rakyat berharap untuk kemenangan Indonesia. Dan akhirnya sang Merah Putih telah berkibar. Walau, hanya berada di posis runner up.


Satu hal yang harus digarisbawahi dari harapan itu, ternyata rakyat Indonesia masih percaya bahwa bangsa ini bisa bangkit. Daun-daun harapan pada sebuah cabang olahraga ini telah tumbuh setelah mengalami kekeringan. Kini, kita masih menunggu untuk tumbuhnya daun-daun harapan cabang olahraga lain di pohon olahraga ini. Kita juga menunggu tumbuhnya daun-daun harapan pada pohon-pohon politik kita, pohon-pohon sosial, pohon-pohon ekonomi, dan pohon-pohon budaya. Yang pada akhirnya membuat hutan Indonesia akan lebat kembali dengan pohon-pohon dan daun-daun harapan itu. Kemudian, kita dapat memetik hasilnya.


Tentu semua itu menuntut kerja keras sang empunya hutan. Rakyat Indonesia dan pemerintah-lah sang empunya. Sinergi dari dua pemilik ini akan mampu menghijaukan hutan ini. Hutan yang akan membuat silau bangsa-bangsa dengan semburat kilau hijaunya. Semburat kilau Zamrud Khatulistiwa.


Jika sampai saat ini bangsa Indonesia masih berada left behind dari bangsa-bangsa lain, bukan sebuah hal yang mengherankan. Tengoklah kesalahan bangsa ini. Betapa tajamnya mesin-mesin chainsaw kita merenggut pohon-pohon harapan itu. Betapa malasnya kita menyiramnya dengan air kearifan. Betapa bodohnya kita memberi pupuk yang salah. Betapa kelirunya kita memotong tunas-tunas daun yang mau tumbuh itu dengan gunting bermerk korupsi. Entah darimana kita dapat gunting-gunting itu, yang jelas kita berada dalam lima besar dalam hal jumlah kepemilikannya di dunia.


Dengan momentum Seabad Hari Kebangkitan Nasional, mudah-mudah virus badminton bisa menularkan virus positif kepada bangsa ini, kepada semua anak-anak ibu pertiwi, baik itu pejabat, konglomerat, selebritis, tokoh politik, dst, tidak ketinggalan mahasiswa, yah, mahasiswa, agar sadar dengan posisi dan tindak tanduknya. Saya menekankan kata mahasiswa, karena tidak lain akan keheranan saya kepada yang katanya pemegang status agen of change ini. Keheranan saya terhadap perubahan yang dituntutt oleh mereka akan tetapi justru tuntutan tersebut dilaksanakan dengan descrucptive actions. Sungguh kontradiktif.


Kepada pahwalan-pahlawan Badminton kami, kalian telah berjasa, sangat berjasa. Betapa harus berterimkasihnya bangsa ini kepada kalian. Kalian telah membuka pintu rumah kita agar tamu/bangsa lain bisa melihat ke dalamnya. Kita harus bangga dengan prestasi kita. Lebih dari itu harus bangkit kembali, bangkit di seluruh lini. Demi Negara. Yah…demi Negara dan Bangsa kita…