Friday, May 30, 2008

BODOH ATAU SEBUAH KONSPIRASI BESAR??

BODOH ATAU SEBUAH KONSPIRASI BESAR

Ada yang membuat saya terkejut ketika membaca lampiran ke-6 pada buku “Selamatkan Indonesia!” karya Pak Amien Rais. Sebenarnya hampir semua lembar dalam buku ini membuat saya terkejut, antusias, kecewa, sedih, pesimis, dst. Sehingga membaca buku ini, saya seperti berjalan di labirin yang penuh misteri dalam sebuah puri besar bernama Indonesia. Lembar per lembar saya baca, maka semakin dalam perjalanan saya di labirin misteri yang sebelumnya tidak saya ketahui, dan sedikit demi sedikit saya menemukan jawaban misteri-misteri tersebut.

Adapun lampiran tersebut berjudul “Cost Recovery PT Pertamina EP”, ditulis oleh Pak Marwoto Mitrohardjono, legislator pusat dari fraksi PAN yang duduk di panitia anggaran. Dari judulnya bisa ditebak mengenai uang/finansial dan PT Pertamina EP, anak perusahaan dari PT Pertamina, BUMN yang paling tenar dari dulu sampai nanti, sampai urusan migas kembali menjadi sumber pendapatan dan bukan pengeluaran yang utama bagi APBN di negeri ini. Di bawah ini merupakan uraian yang ditulis oleh beliau tetapi menggunakan bahasa saya sendiri plus sudut pandang pribadi.

Cost Recovery di atas ialah terkait dengan depresiasi aset-aset PT Pertamina. Ada apa dengan depresiasi aset? PT Pertamina mengajukan pembebanan (minta uang) atas depresiasi aset-aset mereka yang bersumber dari APBN untuk tahun 2008 sebesar US$ 333 juta. Periode aset-aset tersebut ialah untuk tahun 2004 s.d. 2008. Untuk tahun 2004 s.d. 2007 sudah direalisasikan pembayarannya. Jumlahnya sebesar US$ 2,327 juta. Sehingga jumlah dari tahun 2004 s.d. 2008 jika dikonversikan ke rupiah sebesar Rp 21,85 triliun.

Kejanggalan

Kejanggalan kasus di atas ialah terkait pengeluaran kas untuk biaya depresiasi. Sebagaimana dipelajari dan diketahui oleh para individu yang pernah mempelajari akuntansi: yang bersumber dari GAAP (di Indonesia bernama SAK), biaya depresiasi bukanlah biaya (expense) yang secara fisik uang keluar dari perusahaan pada masing-masing periode, tetapi hanya merupakan alokasi kos (cost allocation) atau pembebanan sebagai biaya untuk di-match-kan dengan pendapatan pada masing-masing periode dalam penghitungan laba perusahaan, dikarenakan periode-periode itu menikmati manfaat dari aset-aset yang dipergunakan dalam operasi perusahaan.

Perlakuan jurnalnya-pun berarti berbeda. Seharusnya debet pada Depresiasi dan kredit pada Cadangan Depresiasi/ Akumulasi Depresiasi. Akan tetapi didebet pada Depresiasi dan dikredit pada Kas/APBN. Artinya, penilaian terhadap aktiva PT Pertamina untuk tahun 2004 s.d. 2007 lebih besar dari yang seharusnya (overstated). Konsekuensinya APBN harus mengganti sebesar biaya tersebut pada masing-masing periode, dari tahun 2004 s.d. 2007.

Beliau juga memaparkan sebuah analogi menarik untuk mempermudah pemahaman terhadap kasus tersebut, yaitu:

“Kita mempunyai mobil yang kita operasikan sebagai taksi, untuk itu kita membuat kontrak karya dengan sopir sebagai operatornya. Sopir mendapat keuntungan berupa hasil di atas setoran kepada kita, lantas di luar penghasilan itu kita masih memberi cost recovery secara tunai kepada sopir yang notabene bukan pemilik mobil. Cost recovery mobil dimaksud adalah berupa cadangan depresiasi mobil melalui depresiasi setiap tahunnya sebagai pengganti karena mobil kita semakin usang, semakin menurun nilainya, semakin menurun potensinya. Masalahnya, si sopir penerima cost recovery secara tunai, apakah memangnya si sopir yang akan melakukan replacement atas mobil kita? Jawabannya pasti tidak.”

Ironis memang. Perusahaan besar (apalagi BUMN) melakukan kesalahan dalam perlakuan akuntansi. Apakah audit telah dilaksanakan secara benar menurut standar pengauditan? Ataukah pengauditan itu sendiri tidak pernah dilakukan?

Bayangkan jika uang sebesar Rp 21,85 triliun dialokasikan ke sektor pendidikan untuk proyek pengadaan komputer di tiap-tiap sekolah seluruh Indonesia. Harga komputer ditaksir sebesar Rp 3,5 juta. Maka:

Rp 21. 850.000.000.000,-/ Rp 3.500.000,- = 6.242.857 unit komputer. Jika jumlah sekolah SMP/MTs dan SMA/SMK/MA di seluruh Indonesia berjumlah 132.874 unit (sumber dari situs Jardiknas untuk sekolah yang telah terdaftar). Maka setiap sekolah tingkat SMP dan SMA akan memiliki komputer sebanyak 46 unit (6.242.857 dibagi 132.874).

Hasil akhirnya siswa-siswi di seluruh Indonesia sudah bisa mengoperasikan komputer atau setidaknya melek komputer, dan tidak ada yang namanya gaptek. Kemudian jika dipergunakan untuk proyek komputerisasi birokrasi/perizinan, tentunya akan mereduksi korupsi dan lama perizinan di Indonesia.

Kita mungkin bertanya apakah hal ini terjadi karena kekhilafan atau ketidakmengertian dalam akuntansi? Ataukah sebuah konspirasi besar antara sebagian orang dalam pemerintahan dan sebagian orang dalam BUMN tersebut? Mungkinkah seperti kasus Enron di Amerika terkait fraudulent dalam akuntansi juga terjadi di tubuh Pertamina?

Setidaknya kita bersyukur Pak Marwoto Mitrohardjono setelah/baru dua bulan duduk di panggar DPR RI telah menemukan dan mempersoalkan kasus tersebut. Walaupun untuk tahun 2004 s.d. 2007 kas APBN sudah bocor dan dalam proses untuk ditarik kembali, akan tetapi setidaknya di tahun 2008 kebocoran itu tidak terjadi.

Sekarang saya bertanya, apakah Anda tidak terkejut, antusias, kecewa, sedih, pesimis, dst berjalan di labirin dalam puri besar yang bernama Indonesia? Bagaimana dengan BUMN-BUMN lain? Bagaimana dengan kontrak-kontrak dengan perusahaan asing? Jika pada Pertamina di dalamnya notabene para pribumi, bagaimana dengan perusahaan-perusahaan asing? Berapa triliun lagi Indonesia dirugikan?

1 comment: