Saturday, February 7, 2009

Dia adalah seorang yang terbuang
Seorang yang tidak digubris
Seorang yang ter-ada oleh sebuah situasi
Situasi dimana dia pun tidak mau hal itu terjadi
Apakah dia mengutuk keberadaannya sendiri??
Entahlah…

Andai dia mampu
Andai dia bisa
Andai dia cukup memiliki kesempatan
Andai dia memiliki
Andai dia tahu
Dia pasti telah sedang menikmati dunia ini…
Jangankan untuk berandai atau bermimpi,
atau untuk juga akan mengalami,
Membayangkan sajapun dia tidak
Karena dia tahu, itu tidak ada dalam kehidupan ini
Pada posisi dia sebagai dirinya
Dia sadar diri, dia tahu diri!!

Aku masih menunggu di luar. Sementara aku duduk santai melihat lalu lintas orang-orang di jalanan dengan kesibukan untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka masing-masing, sebut saja dia itu “Dia”, juga sedang ingin mewujudkan mimpinya sendiri. Mimpi itu sungguh tinggi baginya, karena menyangkut harga diri, dan keinginan untuk memperlihatkan eksistensinya. Keinginan untuk menunjukkan bahwa dia ada, juga ada. Walaupun aku yang memaksa Dia. Dia tahu diri kok!!

Aku memaksa dia!! Aku memaksa dia untuk mewujudkan mimpinya itu. Dia tidak mengatakan mimpinya itu kepadaku. Aku hanya mampu membaca keinginannya itu dari dalam dirinya. Mungkin aku memiliki sixth sense tersendiri yang terbawa sejak kelahiranku. Kemudian menuntunku untuk berani mengajaknya mewujudkan mimpinya yang tersembunyi itu. Sebuah mimpi yang tersembunyi, terpendam, terkubur dalam mahalnya cangkang kesadaran dirinya.

Aku bosan duduk di kursi tungggu. Sejak tadi yang kulihat hanya orang-orang yang lalu-lalang dengan kendaraan mereka. Aku mau masuk. Melihat sebuah proses seseorang dalam mewujudkan mimpi tingginya. Aku telah memegang gagang pintu. Aku menariknya. Dan aku masuk.

Dia tersenyum melihatku masuk. Ini baru kali pertama dia mengalami hal ini. Berdiri dengan baju berkancing dan berkerah di dalam ruangan kotak dengan cahaya lampu benderang. Perkakas di sekitar dia berdiri asing baginya. Dia hanya tahu salah satu perkakas itu mirip dengan mentudung di meja makan yang sudah tidak pernah dia sentuh lagi selama ini. Dia terlihat rapi, he is trying to be gallant!! Lagi dia tersenyum melihatku. Wanita di depannya yang sedari tadi memberikan komando terlihat sibuk dengan perkakas yang dipegangnya. Wanita ini berjilbab, aku memandang ke wajahnya. Aku melihat sebuah kesabaran yang dipertahankannya. Dia wanita yang baik.

“Kok lama Mbak??’ tanyaku.
“Matanya merem terus” jawabnya.
“Oh gitu…” aku maklum. “Gimana klo nggak usah pake blitz Mbak??” tanyaku lagi.
“Nggak bisa”
Wanita ini kembali bekerja dengan kameranya. Dia masih berdiri canggung di depan background biru, menunggu komando dari wanita tadi. Berkali-kali dicoba, matanya selalu tertutup.
“Coba tahan matamu Di, jangan hiraukan cahaya!!’ aku ikut memberikan komando.
Dia menangguk dengan senyuman.
“Merem aja dulu, nanti klo sudah aku hitung sampai tiga buka mata ya!!” wanita itu memberikan komando lagi”
1…2…3…Jepret!!…Final…Akhirnya dia berhasil mempertahankan matanya tetap terbuka.

Walaupun serangan kilat dari mentudung tadi menusuk bola matanya. Dia telah berhasil membuat foto warna untuk persyaratannya membuat Kartu Tanda Penduduk yang telah menjadi mimpi besarnya selama ini. Seharusnya dia telah memilikinya ketika dia berumur tujuh belas tahun tujuh tahun yang lalu.
Kami duduk. Kulihat senyum yang berbeda di wajahnya. Senyum saat ini benar-benar senyum puas dan bahagia. Dan ternyata senyum di dalam ruangan tadi itu merupakan senyum seseorang supaya tidak dicap sebagai seorang yang udik. Dia mempertahankan keberadaanya…

Foto telah selesai di cetak. 4x6 2 lembar, 2x3 4 lembar, satu keping CD. Jumlahnya Rp 25.000,-. Bill dibayar.


Pagi Jum’at…

Pagi pukul delapan menuju ke sembilan. Aku berputar-putar di salah satu jalan di Kotabaru. Dekat dengan Kodim Kotabaru. Aku lupa nama jalannya. Ingatanku berucap di sinilah Kantor Catatan Sipil berlokasi. Masih putar-putar. Celingak-celinguk. Para panitera sedang senam pagi di depan kantor mereka, Kantor Kejaksaan. Kantor Pengadilan Agama sepi. Para tukang ojek sedang duduk ngobrol. Ibu-ibu berkerumun di depan gerobak dorong sayur. Aku tidak menemukan kantor Capil. Aku bertanya kepada seorang tukang ojek. Dia memberikan alamat yang kemudian kusadari bahwa aku ternyata lupa, aku baru ingat. Aku menuju ke sana. Jalan H. Hasan Basri.

Aku telah berdiri di pintu kantor Capil. Melihat-lihat ke dinding. Mencari tahu bagaimana prosedur pengurusan KTP. Mungkin di seluruh dunia, atau hanya di Indonesia, atau hanya di kabupatenku, ketika memasuki instansi, no one greets me!! Or, may be just trying to show the easygoing bureaucracy. Para pegawai sibuk. Buka sana-sini, membolak-balik berkas, membenarkan kaca mata, stempel sana-sini. Aku menyapa seorang pegawai.

“Ngurus KTP bagaimana ya??”
“Mas, sudah memiliki kartu keluarga??”
“Oh, bukan untuk saya, untuk teman”
“Ada kartu keluarganya??”
Aduh!! Pertanyaan yang susah.
“Kita beruntung lahir dengan esensi-esensi sebuah kelahiran ada di sekitar kita, bapak, ibu, menunggu dengan harapan besar akan kelahiran kita. Bagaimana untuk seseorang yang lahir dengan ketidakinginan orang tuanya, kemudian ditinggal orang tuanya?? Bisakah dia memiliki kartu keluarga untuk dirinya sendiri??” aku bertanya lagi.
“Tetap tidak bisa, kecuali jika dia sudah menikah. Atau masih ada wali lain??”
“Neneknya ada, tapi sudah tua dan pikun, bagaimana??”
“Ya dengan neneknya”
Aku pergi keluar, membawa blanko permohonan pembuatan KTP dan Kartu Keluarga. Kami bergegas ke kelurahan.

“Pak, urusan KTP di mana??”

Pegawai itu menunjuk ruangannya. Di dalamnya ada empat pegawai, tiga perempuan, satu laki-laki.

“Meulah (membuat) KTP Pak” aku menyerahkan Kartu Keluarga paman si Dia.
“Oh ikam (kamu) anaknya Junaidi (nama samaran)??” tanya pegawai laki-laki.
“Lain (bukan) Pak, uluh mengurusakan KTP Dia.”
“Oh, iya-iya” pegawai kelurahan mengerti, dia sudah mengenal Dia.
“Gasan (untuk) apa KTP?? tanya pegawai.

Pegawai ini telah mengenal Dia. Pegawai ini tahu bahwa KTP tidak berfungsi bagi si Dia. Bukan untuk mengurus SIM, bukan untuk mengurus pendidikan, atau urusan lain-lain. Pegawai ini mungkin sadar dia menanyakan pertanyaan yang bodoh. But he is curious…

“Bapak tahu akhir-akhir ini polisi razia premanisme. Siapa yang tidak memiliki KTP dan keluyuran di malam hari, kena periksa, di tangkap.” Jawabku
Pegawai bertugas. Menulis identitas si Dia di blanko. Sekali-kali dia menanyakan identitas Dia.

Jika hanya ditangkap dan di data dirinya, bagi seorang Dia yang bahkan tidak lulus SD ini, akan menjadi pengalaman yang tidak terlupakan baginya untuk berurusan dengan sebuah instansi walau itu kepolisian, dia mungkin akan senang memiliki pengalaman itu. Tapi jika ketika di data Dia dibentak-bentak, dikatakan bodoh, dikatakan melawan petugas. Who wants?? Bahkan, untuk seorang yang tidak bersekolah, dia marah diperlakukan seperti itu. Aku masih ingat ketika dia menceritakan hal itu di pelataran tepi laut malam hari itu. Dia benar-benar emosi, marah, jengkel, sumpah serapah. Aku belum pernah melihat itu sebelumnya dari Dia, sejak kami masih kecil!!

“Tanggal lahir??” pegawai itu menanyakan lagi.

“8 Juli 1986” jawabku. Sebuah tanggal rekayasaku.

Tidak ada data yang kudapat dari Dia ketika kutanya mengenai kelahirannya. Dia tidak tahu. Nenek dia tidak tahu atau mungkin sudah lupa. Sepertinya tidak ada orang-orang yang tahu. Atau hanya tidak peduli. Mau mencari ibu atau bapaknya, tidak tahu di mana keberadaan mereka. Shit!!

Entah kenapa, aku seolah merasa sok pintar dan lebih tua dari bapak dan ibu-ibu pegawai yang ada di ruangan aku berada saat ini. Aku berceramah dengan kemarahan yang tersembunyi di wajah sok pintar dan sok tuaku saat ini.

“Ya, seharusnya ini tugas ketua RT atau petugas dari kelurahan untuk inisiatif, peduli kepada mereka-mereka seperti Dia yang tidak tahu baca tulis dan ekonomi lemah. Untuk mengakui keberadaan mereka. Namun, kita tahu, kita semua diminta pertanggungjawaban kita atas orang-orang seperti mereka, mengenai peran kita.”

Satu ibu pegawai dan bapak pegawai di depanku, menunduk pelit. Wajah mereka berubah. Aku tahu, hati mereka tersadar. Aku tidak peduli dengan persepsi mereka terhadapku. I say what I want, that I think I have to…

Kemudian, hatiku mulai basah ketika ku dengar pegawai itu menanyakan nama orang tua si Dia kepada Dia. It doesn’t seem as a question answered with the exact answer, it is like a bargaining process.

Selesai di kelurahan. Kami menuju ke Kantor Kecamatan. Prosesnya singkat di sini. Blanko di stempel. Kemudian petugas meminta si Dia menandatangani blanko. Dia tidak bisa baca tulis. Namun, Dia dengan berani mengambil pena yang telah disodorkan kepadanya. Dia menandatangani dengan singkat dan tegas, itulah kesan yang muncul!! Hebat. Dia benar-benar ingin mewujudkan mimpinya.

“Ikam (kamu) harus ingat dengan bentuknya!!” instruksiku kepada Dia terkait tanda tangannya.

Di Kantor Catatan Sipil, aku menyerahkan blanko. Kemudian diberikan selembar kertas berstatus sebagai tanda terima dan bukti untuk mengambil KTP yang telah selesai dibuat nantinya. Tidak ada keterangan bahwa ini dapat dipergunakan sebagai KTP sementara, meanwhile kami harus menunggu selama satu setengah bulan untuk KTP itu selesai. Harus berapa kali patroli polisi harus di waspadai oleh Dia. Seolah kucing-kucingan dengan petugas. Sementara itu walau hanya duduk di sekitaran kampung sendiri di malam hari.

“Ibu, tidak ada keterangan di sini bahwa ini dapat dipergunakan sebagai KTP sementara??” tanyaku heran.

Pegawai ini tidak dapat berkata untuk beberapa detik. Tak lama mulutnya mulai bergerak…
“Ya, seperti itulah adanya” jawabnya dengan susah.

Di sini, seharusnya aku bertanya kepada system, bukan kepada Ibu ini…

Sunday, February 1, 2009

APA KABAR HATIMU MR. POLICEMANS??

Dua profesi yang begitu anti bagi Razua ialah polisi dan dokter.

“Siap grak!!” seorang senior dengan galaknya memberikan komando.

Sontak kami mematuhi perintah itu. Badan tegap, mata memandang lurus ke depan, dada dibusungkan, tangan mengepal menyentuh sisi kiri-kanan pangkal paha. Jangan pernah berani untuk mengeluarkan suara keluhan atau tertawa, walau hanya cekikikan kecil. Konsekuensinya, push-up, tamparan kata-kata, pandangan tajam mata senior akan menembus bola mataku, memanaskan retina, kemudian membuat lapisan tidak tembus pandang pada sisi mata, mirip seperti glaukoma. Sehingga, tenaga kan habis, wajah merah kebiruan, dan pandangan mata gelap.

Senior dari tadi berkeliling melihat sikap tubuh kami, sudah sempurnakah atau belum. Sudah ratakah barisan kami atau belum. Sudah sejajarkah dengan teman sebelah kami masing-masing.

“PaaK!!” tiba-tiba kurasakan sakit pada punggung kanan telapak kakiku. Sakit ini mengecewakanku. Senior tersebut menendang kakiku, dia berujar kakiku tidak rapi. Namun, sakit pada kaki tidak lebih sakit pada hatiku. Aku marah!! Seolah-olah aku merasa seperti diperbudak. Aku merasa tidak dihormati. Senior ini telah membuat sobek lembaran buku hidupku pada bab”Harga Diri”. Aku terhina di tendang seperti itu, memangnya siapa dia. Demi menjadi pasukan inti untuk karnval tiga minggu lagi, aku rela berlelah-letih demi nama harum sekolahku. All things that I can do, I will.

Itulah yang membuat Razua tidak berminat menjadi polisi atau oknum aparat keamanan lainnya. Ketika hal seperti dirinya, Razua anti profesi yang satu ini. Seiring dengan perjalanan hidup, mungkin saja cita-cita profesi bisa berubah. Namun, jikapun harus menyasar ke profesi di luar cita-citanya saat ini, profesi ini akan dijadikan peringkat pertama dari beberapa profesi yang akan ditolak Razua.

Untuk menjadi dokter, Razua tidak mempunyai cerirta atau sebuah justifikasi sehingga menolak menjadi profesi ini. Mungkin hanya ketidakberanian untuk memasukkan jarum suntik yang lancip ke dalam kulit seorang pasien. Uh ngeri boy…

Tidak berbeda dengan malam biasanya. Razua nongkrong, ngobrol, bernyanyi dengan kawan (saudara) sedari kecil. Beginilah keadaan pulauku untuk menghabiskan malam. Tidak ada warnet yang open 24 jam. Apalagi perpustakaan yanh hanyaopen sampai sore. Yang ada ngobrol sampai tengah malam bahkan pagi.

Di telinga Razua menempel mp3 player. List lagu yang diputar yaitu Heal the World-nya M. Jackson dan Gaza Tonight M. Heart. Sangat menyentuh, pikiranku terbang, limbung, meroket, dan landing ke Palestina. Sedih menyaksikan kekasaran tentara-tentara Israel terhadap warga sipil dan anak-anak. Sama sekali bukan sebuah kisah yang mengesankan!!
Tidak lama, mobil patroli polisi berhenti di depan kami duduk. Dua mobil dan beberapa sepeda motor. Dengan sigap mereka semua berdiri di depan kami semua.

“Semuanya berdiri!!” salah seorang dari mereka memerintah dengan suara kerasnya.
Sontak kawan-kawanku semua berdiri. Berbeda dengan aku yang dari tadi bersandar pada sandaran kursi menikmati dua lagu tadi yang di-repeat, aku hanya keep sitting still.
“KTP dan dompet!!” salah seorang dari mereka memerintah lagi.

Aku serta merta memberikan dompetku.”Silahkah periksa dengan cermat!!” kataku dalam hati. Polisi itu menyenter dan memeriksa dompetku ke sana kemari. Bolak-balik. Buka –lipat. Sementara mp3 playerku masih aktif di telinga.

“Berdiri!! Turun ke sini!!” polisi yang pertama tadi menyuruhku lagi. Kali ini dengan lebih keras, dan aku klasifikasikan itu dengan perintah kasar. Dia berhak untuk bicara sopan dengan kami!! Kami bukan penjahat!! Aku berdiri, kupersilahkan memeriksaku. He got nothing!!
Polisi yang memeriksa dompetku kemudian mengembalikannya. He got nothing!!

“Sudah semuanya pulang!!” salah seorang polisi memerintah lagi.

“Pulang-pulang!!” beberapa polisi seperti paduan suara memerintah.

Apa-apaan?? Apa mereka tidak bisa mengetahui, mayoritas kami sudah layak untuk menikah. Pun juga, warung-warung dan kedai ponsel juga belum tutup. Menjengkelkan!! Sok kuat, terkesan represif, tanpa sapa dan salam untuk memeriksa, tidak sopan, dan tidak etiketis.

Aku heran, polisi di pulauku terkesan seperti itu. Sangat berbeda dengan polisi di pulau Jawa ketika aku khilaf melintasi rambu larangan belok. Dia mengucapkan salam ramah. Namun, ketika aku kembali ke pulauku, aku diberitahu temanku, bahwa dia ditampar seorang polisi di kepalanya ketika tidak menggunakan helm. Tanpa salam dan sapa sebelumnya. Temanku tidak sendiri yang mengalami seperti itu!! Jumawa!! Bukankah mereka memiliki seorang kapolri yang sama??

See that, mungkin ini juga alas an Razua tidak berkenan menjadi polisi. Keluhuran niat untuk melindungi dan mengayomi dari negara kepada masyarakatnya, dicoreng dengan perilaku sebagian aparat mereka. Semoga para mereka sadar akan itu. Kebetulan banyak temanku yang telah da akan menjadi seperti mereka, mudah-mudah tidak seperti mereka. Be Kind and Nice Dude!!