Tuesday, May 20, 2008

DEMONSTRASI MAHASISWA

DEMONSTRASI MAHASISWA

(Dilihat Dari Cermin Ajaib)


Pada saat saya mulai menulis tulisan ini, waktu menunjukkan pukul 00.07. Saya menulisnya ketika saya menyaksikan newscast di Metro TV. Lagi-lagi untuk kesekiankalinya dan di lokasi lainnya terjadi kericuhan frontal antara oknum mahasiswa versus oknum kepolisian. Lempar-lemparan, kejar-kejaran. Sengaja saya menyebutkan oknum: yang artinya orang atau anasir; karena tidak semua anasir/individu dari dua kelompok terlibat di dalam kericuhan tersebut. Artinya, di kedua belah pihak masih ada individu-individu yang mencoba menghentikannya.

Seperti yang sebelum-sebelumnya, kericuhan tidak lain disebabkan oleh demonstrasi mahasiswa untuk menolak kenaikan BBM. Mahasiswa sebagai pihak yang berperan sebagai inspirator dan atau mediator aspirasi-aspirasi rakyat kepada pemerintah mencoba melaksanakan tugas mulia yang diembannya tersebut. Tugas mulia yang ditujukan untuk rakyat, bangsa, dan Negara. Sebaliknya, kepolisian sebagai pihak yang berperan sebagai penjaga keamanan, ketertiban, ketentraman, dan ke-an-ke-an lainnya, juga harus melaksanakan tugasnya. Sama dengan mahasiswa; untuk rakyat, bangsa, dan negara. Sama-sama mulia.

Tayangan kericuhan (kekerasan) dalam demonstrasi yang ditampilkan oleh setiap stasiun tv akan hal tersebut membuat para pemirsa; rakyat Indonesia; merasa miris, sedih, senang, terprovokasi,geram, dst. Semuanya tergantung opini, latar belakang, dan pretensi masing-masing. Ada yang setuju dengan dalih: itulah yang seharusnya dilakukan. Miris; dengan kondisi bangsa sekarang. Atau yang terprovokasi untuk melakukan hal yang sama.

Tidak bisa dipungkiri, kenaikan BBM memang menyulitkan masyarakat. Tidak hanya naiknya harga BBM tersebut, tetapi juga akan menstimulasi naiknya harga-harga kebutuhan hidup lain, secara cepat dan pasti. Bahkan kenaikan BBM tersebut belum terealisasi, harga-harga sembako dan kebutuhan lainnya sudah melonjak naik lebih dulu. Seolah-olah pertanyaan usil mengenai telur dan ayam mana yang tercipta lebih dulu bisa diibaratkan dalam hal ini.

Kenapa kericuhan tersebut bisa terjadi? Apakah kita harus menanyakannya kepada dua kubu tersebut secara langsung? Dipastikan tidak akan ada jawaban yang adil dan mengenai sampai ke serabut akar masalah. Kedua kubu akan saling menyalahkan: akan saling merasa benar.

Bagi saya pribadi, saya akan menjadi golongan yang merasa miris dan sedih akan kasus di atas. Jika ada kuisioner yang diselenggarakan oleh LSM/NGO yang mungkin bernama Peduli Bangsa Anti Kekerasan untuk mengetahui opini masyarakat akan kericuhan (kekerasan) dalam demonstrasi itu, maka saya akan menjadi pemilih yang akan mencoblos atau memberi tanda tick mark pada option paper, ikon wajah muram dan mungkin ada tetesan air matanya. Ironis, mahasiswa sebagai civitas akademika yang sehari-hari dijejali teori-teori positif dan anti kekerasan, kok prakteknya bertindak sebaliknya, berada dalam ruang paradoksal. Begitupun bagi polisi-polisi; yang telah ditanamkan dalam benak mereka bahwa polisi sebagai mitra dan melindungi masyarakat; ternyata juga “tidak sengaja” terlibat pada kericuhan itu. Bukankah mahasiswa salah satu elemen/anasir dari masyarakat itu sendiri.


Rangkaian Acara Utama Demonstrasi Lainnya

Kasus-kasus selanjutnya (bisa dikatakan unjustifiable) yang seakan-akan telah membudaya dilakukan oleh para mahasiswa tertentu (untuk tidak mengatakan kesuluruhan) dalam rangkaian demonstrasi mereka tersebut ialah pengrusakan infrastruktur pemerintah , penutupan jalan, penyegelan SPBU, dan pencegatan truk tangki BBM Pertamina jika sampai ada yang melintas. Anak-anak sekolah dasar-pun akan bertanya, salah apa dengan benda-benda mati tersebut? Apa mereka manggut dan setuju dengan kenaikan BBM itu? Apa truk tangki akan berdansa jika terjadi kenaikan BBM? Jawabannya tentu tidak. Mereka juga dioperasikan, digunakan, dan diperlukan oleh manusia. Dan hampir keseluruhan benda mati tersebut (infrastruktur pemerintah, truk tangki Pertamina, dan jalan-jalan) dibiayai dari anggaran negara, artinya milik rakyat juga. Nah, kok dirusak??? Walaupun kadang akhirnya mereka sadar sendiri, dengan alasan yang memang seharusnya.

Alangkah indahnya jika demonstrasi tersebut dilaksanakan dengan tentram, elegan, arif, dan berjalan dalam koridor kesopanan. Sebagai bangsa yang mengaku berbudaya dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, kiranya tidak sepatutnya hal itu terjadi. Apakah kita sebagai mahasiswa tidak malu jika rangkaian acara anomali dalam demonstrasi yang kita lakukan ditonton oleh para intelektual atau pihak-pihak yang benar-benar mendedikasikan dirinya untuk kemajuan bangsa tapi tidak melakukan kekerasan, sehingga kesannya kita sok pintar. Kepada penonton orang tua, sehingga kesannya kita sebagai yang muda tidak menghormati mereka dengan perilaku menyedihkan dan meresahkan mereka. Atau kepada anak sekolah di bawah kita, sehingga kesannya kita tidak malu mempertontonkan ketidakdewasaan dan ketidak-integritas-an kita sendiri.

Jika kasus di atas dianalogikan sebagai seorang putri yang bernama Bawang Merah yang menanyakan kecantikan dirinya kepada cermin ajaib, padahal cermin ajaib itu tidak pernah berkata bohong, bisa melihat ke dalam diri putri itu, melihat tabiat dan inner beauty seseorang, dan menilai seseorang putri berdasarkan tabiat dan inner beauty-nya Akankah cermin itu berbohong atau berkata sejujurnya…???

Jauh dari niat-niat tertentu, saya hanya menghirup segarnya udara alam kebebasan bersuara/berpendapat di Indonesia tercinta ini.

No comments:

Post a Comment