Thursday, January 22, 2009

Edisi Liburan-Pulkam #1

12.45 waktu Indonesia bagian tengah. Hujan mulai turun lebat, berhenti, kemudian lebat lagi. Kencang deru hujan terhadap atap. Pasti biji-biji air hujan saat ini besar. Kondisi akomodatif untuk tidur. Sebelah timur merupakan perumahan warga yang bertetangga dengan pohon-pohon, lebih tepatnya hutan yang ditumbuhi perumahan warga. Di sebelah timur, merupakan hutan mangrove yang telah membuka diri mereka untuk dikapling-kapling sebagai lahan perumahan warga, atau untuk menjadi empang-empang. Sementara aku mencoba ikut meramaikan riuhnya pesta air hujan di luar dengan bunyi keyboard yang diketik dan dengan backsound album religi Ungu.

"Alhamdulillah ku syukuri semua

Terima kasihku ya Allah atas Indahnya hidup

Alhamdulillah ku syukuri semua

Terima kasihku ya Rabbi atas rahmat dalam hidupku"

Senang rasanya bisa kembali di suatu tempat yang dimana disebut rumah. Bisa kembali ke kampung halaman. Lebih kurang seratus hari yang lalu, aku juga kembali. Though, perjalanan darat dari Banjarmasin ke kabupaten cukup membuat adrenalin bergerak menanjak dalam kurva pergerakannya. Bukan karena menakutkan, menyedihkan, atau begitu gembira, akan tetapi, ada satu hal lagi yang menyebabkan adrenalin itu menanjak. Marah? Sedikit berlebihan jika marah. Mungkin lebih tepatnya, emosi. Dari dulu sampai sekarang infrastruktur darat tetap pada kondisi stag. Jalan di sini diperbaiki, jalan di sana berkerikil, berlobak, bahkan menjadi kolam. We have to be shaken inside. Bayangkan, metaforakan, seperti biji-biji jagung yang sedang dalam proses menjadi pop corn. Terpelanting, terpental, dan limbung. Walaupun, tidak sampai menyebabkan tertukarnya nomor kursi antar penumpang. Itu berlebihan…

Islam menyuruh nabi untuk berhijrah. Jauh jika menyamakan, tapi, simpelnya, mari berbicara dalam konteks perpindahan tubuh fisik secara geografis. Pepatah menganjurkan, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Tidak sejauh sampai ke Cina bagiku saat ini. Based on self interpretation and experiences, bagitu banyak hikmah dari dua perintah itu. Saat-saat ketika merindukan kampung halaman ketika berada di kampung lain, begitu indahnya, yang kemudian tidak lama tercium bau asap terbakarnya hati karena kerinduan itu. Saat-saat dalam perjalanan pulang, melemparkan pandangan di sepanjang jalan, missing, contemplating, thinking about this life, about this role, about love (not about bojo lho), and about the thankfulness to the God. Mungkin inilah sedikit hikmah yang terbaca dari seabrek hikmah yang tidak dan belum terbaca dari dua perintah itu.

Tunduk pada hukum dunia, tidak ada sesuatu yang sempurna. Tidak ada sesuatu yang tetap dalam kehidupan, kecuali ketidaktetapan itu sendiri. As an emerging regency, pulauku terus tumbuh. Pulauku terlihat berbenah. To be exist lah pokoknya!! Sebuah hal yang alami dalam hidup, untuk tumbuh dan berkembang, sampai tiba saat masa hidup berakhir. How ever, seperti banyak kasus lain di Indonesia, pertumbuhan tanpa disertai dengan blue print yang cukup. Eksekusi tanpa planning yang matang. Visi yang kurang bersifat long term. Pulaku semakin semrawut. Jalan semakin sempit. Sampah semakin banyak di tempat yang tidak seharusnya. Sesuatu hijau yang bernama pohon semakin berkurang, digantikan dengan bibit-bibit rumah yang dengan subur tumbuh. Oksigen digantikan dengan bala polutan dan karbondioksida dalam jumlah masif. 

Bagaimanakah dengan nasibmu untuk waktu yang akan datang? Aku tidak akan menunggu untuk jangka waktu misal lima atau sepuluh tahun. Aku hanya akan kembali melihat pada kesempatan sekembalinyaku lagi nanti. Yah sekembalinya aku lagi nanti. 


1 comment:

  1. waduh itu siring laut ya..
    banyak bencong donk haa..
    tp its ok..

    ReplyDelete