Saturday, June 13, 2009

A BLESSING WEEK


You can’t count what the God has been giving the all to you, that you have to do is just expressing your gratitude…


The Miracle of Alms

Siang Kamis tanggal 4 Juni 2009. Siang yang begitu terik. Di sela-sela kesibukan untuk mempersiapkan tugas presentasi, aku menyempatkan diri untuk melangkahkan kaki ke gedung pusat, meninggalkan tim yang menyelesaikan tugas masing-masing.
Aku tergesa-gesa, berjalan cepat dan berlari kecil, agar tidak terlalu lama meninggalkan tim.

Sesampai di gedung pusat lantai tiga, tarik-hembus nafasku begitu cepat. Karyawan gedung pusat sudah menunggu bagi para peserta KKN untuk mengambil properti-properti dan dokumen / pencatatan yang harus dilakukan dalam KKN nanti. Aku mengantri di belakang kerumunan mahasiswa jilbaber.

Tiba giliranku. Salah satu karyawan ini membuatku sedikit jengkel dengan dirinya. Sok tahu, sok berkuasa, dan feminim. Aku manggut-manggut saja untuk mempercepat proses ini. Aku pulang, sangat singkat.

Di perjalanan menuju kembali ke kampus fakultas ekonomi, aku melihat seorang nenek dengan dua cucu beliau mungkin. Kedua anak tersebut kembar. Pakaian sama, tinggi sama, dan wajah sama. Mereka bertiga terlihat berpakaian lusuh, namun si kembar yang mungkin berumur 2,5 tahun tersebut saling bercengkrama, mereka senang. Sementara sang Nenek, menenteng plastik besar transparan. Apa yang sedang di bawa sang nenek terlihat olehku, tapi aku tidak tahu apa itu. Pakaian atau apa? Yang pasti juga lusuh.

Tidak sedikit kaum papa yang berseliweran di kampus yang katanya kerakyatan ini. Mengais-ngais barang rongsok, lusuh, dan bekas di sekitaran kampus, yang mungkin di balik barang-barang yang kedinginan dan sendirian itu, ada suatu nilai yang bernama rezeki. Sementara sang ibu duduk melipat-lipat plastic transparan lebar di bawah tangga, sang anak bermain mobil-mobilan di mushala kampus. Sementara sang anak tertawa dan tersenyum senang melihat ikan-ikan yang berwarna dalam kolam-kolam kampus, sang ibu menengadahkan gelas plastik bekas gelas teh kepada para mahasiswa yang berlalu lalang. Mereka tidak mengindahkan jarak duduk mereka dengan lewatnya mobil-mobil dosen dan mahasiwa. Mungkin kehadiran mereka terlihat mengherankan di mata sivitas, dosen tamu, ataupun CCTV kampus. Atau sivitas sudah mulai menyesuaiakan diri dengan hal ini. Mereka tidak perduli.

Melihat dua cucu kembar sang nenek tadi, aku tersenyum miris. Senang dan sedih melihat mereka tertawa. Pikiranku langsung terasosiasi kepada adikku. Bagaimana jika mereka adalah nenek dan adik-adikku. Syukur terpanjat dalam hati dengan kondisi diri ini jika dibandingkan dengan mereka. Aku menghentikan motor, membuka dompet untuk mencari rupiah yang bisa dialirkan kepada mereka. Nenek yang melihatku berhenti langsung berjalan menuju kepadaku. Kejadian ini dilihat setidaknya oleh empat petugas parkir gedung pusat. Aku memberikan nenek tersebut rupiah yang hanya senilai dengan dua kali makan standar di kota ini.

“Terima kasih, Tuhan nanti yang akan membalas semuanya!!” Nenek berucap kecil.

Aku merasa bahagia, sedih, dan perasaan lain yang bercampur. Sekali lagi aku bersyukur dengan kondisi diri sendiri.

Tidak lama aku tiba di kampus untuk melanjutkan tugas presentasi, panggilan masuk handphone yang berbunyi kecil menghentikan konsentrasiku. Ternyata dari ibuku. Beliau menanyakan kabar aktifitas kuliahku. Apakah ada hari senggang sedikit dalam beberapa hari ke depan ini. Aku menjawab, seminggu ke depan aku minggu tenang. Beliau memintaku untuk bertemu di suatu kota karena tak sempat untuk singgah di kota bakpia ini. Artinya aku akan bertemu ibu dan adik-adikku, libur sebelum tempur ujian, dan tentu menghabiskan waktu yang menyenangkan dengan mereka.

Telepon ini tidak lebih dari lima belas menit setelah aku memberikan sejumlah rupiah kepada nenek dan cucu-cucunya tadi. Jika tadi aku menjadi rindu dengan adik-adikku karena melihat si kembar itu, kini Tuhan justru memberikanku kesempatan untuk bertemu dengan mereka dan tentunya Ibuku. Aku merasa keraguanku atas pernyataan-pernyataan kerap Ustadzh Yusuf Mansyur kini terjawab. Aku tidak-menyangka cara dan jalannya. Tuhan memberitahuku dengan caranya yang tidak terduga, dengan lebih berlipat nilainya. That’s the miracle of alms.


HUKUM TERBALIK YANG MENGHEMPASKAN


Tidak terasa dua hari bertemu dengan ibu dan adikku, akhirnya kami harus berpisah kembali. Aku harus kembali ke kota bakpia dan beliau kembali ke rumah. Agenda beliau kali ini telah selesai.

Masih teringat di kepalaku bagaimana paniknya ketika diaper adikku yang penuh, yang hanya ada aku di situ.

“Tunggu jika Mama sudah datang, baru ganti”. Begitu yakin aku mengucapkan kalimat itu, adikku masih belum mengerti. Dua jam menjaga seorang balita sama susahnya untuk meminta maaf kepada pasangan. Keduanya sama-sama membutuhkan aku berperilaku melelahkan, untuk membuatnya tidak marah, tidak membosankan, dan mau tersenyum.

Masih teringat betapa kencangnya teriakkan adikku ketika dia berteriak karena sandal yang baru dibelinya itu tidak memuaskan hatinya. Sandal tersebut tidak mengikuti keseluruhan kakinya ketika berjalan. Sebagian sandal berkhianat dari bentuk kakinya. Dia marah, berteriak, dan memukul lantai ubin dengan keras, walhasil dia kecewa sendiri dan menangis kencang. Semua pengunjung tempat perbelanjaan melihat kepadanya dan aku dan ibuku. Ah bikin malu aja.

Masih teringat dengan adikku yang begitu menikmati mobilitas menggunakan lift. Kotak ajaib yang mengantarkan tubuh tanpa lelah. Berjalan dan berlari di lobby yang penuh dengan orang-orang dengan urusan masing-masing. “Sini ah, diam sini, aku capek!!” Yah, dia jalan-jalan lagi.

Kami menuju barisan taksi yang mengantarkan ibu dan adikku ke bandara. Sementara aku akan menggunakan taksi yang lain untuk menuju stasiun kereta api.

Ibuku masuk ke taksi setelah memasukkan adikku terlebih dahulu.

“Mama pulang ya, terima ya Nak!!”

“What??” ibuku mengucapkan terima kasih kepadaku. Sebuah kata yang tidak sepantasnya diucapkan oleh seorang ibu kepada anak-anaknya. Aku merasa seperti tidak merasa. Kenapa ibuku mengucapkan kalimat itu. Mungkin aku merasa durhaka, seharusnya aku lah yang mengucapkan hal itu, selalu, tanpa harus menunggu lebaran dan hari ulang tahun, dan momen-momen berjarak waktu lama yang lain. Aku sudah untuk sepantasnya membuat beliau bahagia. Tiada seorang yang berhasil, tanpa keberhasilan sang ibu dalam mendidik anak-anaknya. Tiada seorang pemimpin berhasil tanpa keberhasilan sang ibu dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada anak-anaknya. Tiada kelembutan seorang anak tanpa kelembutan yang dicurahkan oleh sang ibu. Melalu satu kata yang universal dan kekal,yaitu CINTA.

“Saya Ma’ yang seharusnya berterima kasih” aku menjawabnya.

Ibuku menciumku dan aku mencium adikku. Kami berpisah.

No comments:

Post a Comment