Tuesday, April 5, 2011

My Self-Preaching Note on Facebook (31-40)








There is a complex system behind everyone's unfavorable actions. 
Will you still think judging a person is an easy thing and can be done without emphatic thinking? 
Though, law supremacy can't be forgotten. 
(self-preaching note #31)

Knowledge is both the highly good values and the plain informations. 
That's way to educate people we need the glorious role models 
and sophisticated information infrastructure to fulfill students' need toward the information. 
We are now talking about professionalism and spiritualism in education. 
(self-preaching note #32)

In process of getting out of your comfort zone, 
you may find and receive the slightly negative expressions. 
It's not about them, it's all about learning process of you. 
But, be happy, that is how you are made to be wise and to master your new zone. :) 
(self-preaching note #33)

While the discipline can't, the wisdom can embrace all people, all interests, and all problems.
That's the reason the wisdom is a common language.
(self-preaching note #34)

Tuhan mengajurkan untuk membaca teks dan konteks kehidupan,
agar insan mengerti dan menghaluskan budi pekerti,
yang dalam perjalanan panjang pembacaan tersebut
menjadikan mereka bijaksana, nantinya.
Kesantunan dan saling penghormatan
ialah anasir-anasir pembentuk kebesaran kehidupan.
ikapun kebijaksanaan, kesantunan, dan penghormatan itu sulit,
apakah benar untuk menghentikan keberadaan insan lain di kehidupan?
Apakah iya membangun kemuliaan dan kemegahan di kehidupan nantinya
dengan tindakan kasar dan tidak manusiawi?
Apakah iya nasihat-nasihat yang tujuannya untuk kebaikan kehidupan itu seperti itu?
(self-preaching note #35)

Sesekali manusia harus menemukan dirinya dalam kehidupan
berada dalam kelompok minoritas, tak berkewenangan besar, dan tak berdaya kuat.
Agar,
ketika menjadi majoritas, berkewenangan besar, dan berdaya kuat,
dapat mengerti, berkasih sayang, menghormati, dan perhatian
kepada mereka yang minoritas, tak berkewenangan besar, dan tak berdaya kuat itu.
(self-preaching note #36)

Mereka yang merasa "secure" dengan diri sendiri
tidak pernah merasa terancam, atau
merasa kebebasan dan keleluasaan diri mereka berkurang
ketika orang lain mendapatkan kebebasan dan keleluasaan.
Mereka hanya telah menemukan kepenuhan dan kemantapan hati
dari pembacaan nasihat-nasihat yang terhampar luas di kehidupan.
(self-preaching note #37)

Peliknya perihal agama
ialah ketika satu atau sedikit penganutnya
berperilaku tidak hormat kepada penganut agama lain
atau menstigma negatif kepada agama lain,
seolah-olah agama yang dianut mengajarkan seperti itu.
Sementara,
agama sangat bergantung dari interpretasi penganut per individu.
Mahalnya, hebatnya, dan agungnya suatu agama dalam hati kita yang kita yakini
sehingga posisinya mantap di hati,
ialah justru ketika dia direndahkan atau disalahkan
dan membuat kita tertekan sebagai penganutnya,
namun kita hanya tersenyum dengan kekeliruan pengertian
dari mereka yang lain itu.
(self-preaching note #38)

Penggunaan bahasa asing atau istilah-istilah akademik yang tinggi
memang berhasil mencitrakan seorang pemimpin
sebagai seseorang terdidik atau terpelajar dengan baik.
Namun, hanya pemimpin yang bicaranya sederhana namun dari hati
yang mendapatkan hati dan cinta dari orang-orangnya.
Apalagi kecerdasan yang tinggi selain mengerti dan bisa berempati
kepada orang lain, terutama kepada mereka yang dipimpinnya?
Mungkin itu yang membedakan pemimpin pintar dengan pemimpin yang agung.
Hidup terlalu mudah ketika hanya berusaha untuk memenuhi kebutuhan pribadi
dan membentuk diri sendiri.
(self-preaching note #39)

Seperti antara keluarga dan pekerjaan yang sering dikeluhkan banyak orang
tentang bagaimana cara mendapatkan keseimbangan di dalamnya--
alih-alih menjadikan meretia (mereka) dua kutub yang saling meniadakan dan melupakan,
begitupun halnya antara agama dengan penghormatan atau kasih sayang.
Mengapa ada orang-orang besar, alim, dan tulus taat kepada agamanya,
namun juga baik, mengerti dan hormat kepada orang lain dan kepercayaannya, bijaksana, dan bahkan mulia bagi semua lapisan horisontal agama itu?
Agama memang bukan budaya, tia (dia) nilai luhur yang sifatnya "rigid" dari atas sana.
Namun jangan lupa, cara kita dibesarkan, cara merespon, dan berpola pikir,
semuanya dipengaruhi oleh, bahkan itu budaya kita sendiri.
Mungkin kita harus memisahkan terlebih dahulu pendidikan pembentukan pribadi yang "fair" terhadap diri sendiri dan kehidupan,
dengan pendidikan untuk pemahaman dan peresapan nasihat-nasihat agama,
di pikiran dan di hati, yang kemudian menjadi tindakan yang saksama dan matang.
Apakah dia yang disebut suri tauladan itu, terlahir sebagai nabi dulu baru kemudian menjadi orang baik, mulia, luhur, dan mampu memimpin dirinya sendiri, atau sebaliknya?
Bagaimana bisa nasihat-nasihat agama membelakangi nurani?
(self-preaching note#40)

No comments:

Post a Comment