BODOH ATAU SEBUAH KONSPIRASI BESAR
Adapun lampiran tersebut berjudul “Cost Recovery PT Pertamina EP”, ditulis oleh Pak Marwoto Mitrohardjono, legislator pusat dari fraksi PAN yang duduk di panitia anggaran. Dari judulnya bisa ditebak mengenai uang/finansial dan PT Pertamina EP, anak perusahaan dari PT Pertamina, BUMN yang paling tenar dari dulu sampai nanti, sampai urusan migas kembali menjadi sumber pendapatan dan bukan pengeluaran yang utama bagi APBN di negeri ini. Di bawah ini merupakan uraian yang ditulis oleh beliau tetapi menggunakan bahasa saya sendiri plus sudut pandang pribadi.
Cost Recovery di atas ialah terkait dengan depresiasi aset-aset PT Pertamina.
Kejanggalan
Kejanggalan kasus di atas ialah terkait pengeluaran kas untuk biaya depresiasi. Sebagaimana dipelajari dan diketahui oleh para individu yang pernah mempelajari akuntansi: yang bersumber dari GAAP (di Indonesia bernama SAK), biaya depresiasi bukanlah biaya (expense) yang secara fisik uang keluar dari perusahaan pada masing-masing periode, tetapi hanya merupakan alokasi kos (cost allocation) atau pembebanan sebagai biaya untuk di-match-kan dengan pendapatan pada masing-masing periode dalam penghitungan laba perusahaan, dikarenakan periode-periode itu menikmati manfaat dari aset-aset yang dipergunakan dalam operasi perusahaan.
Perlakuan jurnalnya-pun berarti berbeda. Seharusnya debet pada Depresiasi dan kredit pada Cadangan Depresiasi/ Akumulasi Depresiasi. Akan tetapi didebet pada Depresiasi dan dikredit pada Kas/APBN. Artinya, penilaian terhadap aktiva PT Pertamina untuk tahun 2004 s.d. 2007 lebih besar dari yang seharusnya (overstated). Konsekuensinya APBN harus mengganti sebesar biaya tersebut pada masing-masing periode, dari tahun 2004 s.d. 2007.
Beliau juga memaparkan sebuah analogi menarik untuk mempermudah pemahaman terhadap kasus tersebut, yaitu:
“Kita mempunyai mobil yang kita operasikan sebagai taksi, untuk itu kita membuat kontrak karya dengan sopir sebagai operatornya. Sopir mendapat keuntungan berupa hasil di atas setoran kepada kita, lantas di luar penghasilan itu kita masih memberi cost recovery secara tunai kepada sopir yang notabene bukan pemilik mobil. Cost recovery mobil dimaksud adalah berupa cadangan depresiasi mobil melalui depresiasi setiap tahunnya sebagai pengganti karena mobil kita semakin usang, semakin menurun nilainya, semakin menurun potensinya. Masalahnya, si sopir penerima cost recovery secara tunai, apakah memangnya si sopir yang akan melakukan replacement atas mobil kita? Jawabannya pasti tidak.”
Ironis memang. Perusahaan besar (apalagi BUMN) melakukan kesalahan dalam perlakuan akuntansi. Apakah audit telah dilaksanakan secara benar menurut standar pengauditan? Ataukah pengauditan itu sendiri tidak pernah dilakukan?
Bayangkan jika uang sebesar Rp 21,85 triliun dialokasikan ke sektor pendidikan untuk proyek pengadaan komputer di tiap-tiap sekolah seluruh
Rp 21. 850.000.000.000,-/ Rp 3.500.000,- = 6.242.857 unit komputer. Jika jumlah sekolah SMP/MTs dan SMA/SMK/MA di seluruh
Hasil akhirnya siswa-siswi di seluruh
Kita mungkin bertanya apakah hal ini terjadi karena kekhilafan atau ketidakmengertian dalam akuntansi? Ataukah sebuah konspirasi besar antara sebagian orang dalam pemerintahan dan sebagian orang dalam BUMN tersebut? Mungkinkah seperti kasus Enron di Amerika terkait fraudulent dalam akuntansi juga terjadi di tubuh Pertamina?
Setidaknya kita bersyukur Pak Marwoto Mitrohardjono setelah/baru dua bulan duduk di panggar
Sekarang saya bertanya, apakah Anda tidak terkejut, antusias, kecewa, sedih, pesimis, dst berjalan di labirin dalam puri besar yang bernama